DIARY BURUH LAPANGAN: GOTTING

 

Gotting. Nama yang sudah sering kami dengar dari tahun lalu. Bahkan sejak di daerah Sukaramai. Ada wacana bahwa blok selanjutnya yang akan disurvei bernama Gotting. Pernyataan ini juga didukung dengan pindahnya Kang Herman dari Sukaramai, katanya mau mapping di Gotting.

3 Februari gw, Fawwaz, dan Pak Ivan berangkat duluan ke Batangtoru dan menginap sementara di mesh geologist. Sementara Pop dan Jump masih terjebak di Jakarta. Mereka tuntas melaksanakan karantina di hotel, sayangnya pihak hotel lalai dan tidak memberikan surat keterangan selesai karantina untuk expat. mereka baru berangkat tanggal 5 Februari.

karena adanya covid, kebijakan klien tentang hunian pun berubah. Pre covid, semua karyawan nonlokal tinggal di dalam komplek tambang. Kalau sekarang, hanya karyawan yang sudah karantina di hotel selama 14 hari saja yang boleh tinggal di komplek tambang. Sisanya seperti kami, tinggal di luar komplek (sewa rumah warga lokal), di kontrakan.
 
penampakan Fawwaz disandwich matras

Setelah diinduksi, tanggal 6 Februari kami berangkat menuju Gotting, Angkola Selatan. Berbeda dengan dua blok sebelumnya, Gotting bukanlah nama desa, melainkan bahasa lokal yang artinya pendek. Karena kata si warga lokal medannya turun naik dengan punggungan yang pendek-pendek. Di sebelah timur blok dibatasi dengan hutan lindung. Jadi pertemuan dengan si loreng dan beruang bukanlah fenomena yang tak wajar. Dari Batangtoru sampai kampung simpang tiga (selanjutnya gw bakal sebut Kampung Nias) kira-kira empat jam kendaraan. Kami berangkat dengan beberapa leader.




rupa camp gotting



because fuck mosquito!



ayam kang Iman, namanya Tasya Nasution. Ada satu lagi, Marko Sitanggang

Sebelum sampai di Kampung Nias, kami singgah dulu di Palang, di tempat yang gw sebut warung nenek. Di tempat ini terjadi transaksi jasa dari klien kami dan porter orang Palang (sebagian Batak Toba) untuk membawa logistik camp berupa bahan makanan, gas, air minum, dll. Para porter akan menggunakan 3 motor dan 1 jeep untuk mengantar logistik ke Kampung Nias. Logistik yang diantar dihargai dengan harga sekian ribu rupiah per kg setelah logistik ditimbang. Tibanya kami di Kampung Nias, terjadi transaksi jasa porter antara orang Palang dan orang Nias. Logistik ditimbang lagi, bedanya adalah kali ini logistik dipikul. Logistik dimasukkan ke karung-karung lalu ditulis dengan spidol. Misal "48 kg" atau jika rentan seperti "telor 30kg". Dengan tanjakan beda elevasi 250 m lalu turun lagi 250 m dan jarak tempuh 2.6 km, kaki orang-orang Nias tersebut kuatnya luar biasa.

Camp Gotting penampakannya mengingatkan saya dengan Camp Siuhom. Berada di Punggungan yang agak miring dengan posisi dapur ada di paling bawah. Karena insiden pencampuran minyak tanah dan air yang terjadi di Sukaramai, kini kompor di Gotting menggunakan kompor gas. 


Dua malah pertama di camp tenda kami selalu diserbu oleh nyamuk. untuk kali ini kami harus benar-benar mendesak klien untuk menyediakan kelambu. Karena di dua blok sebelumnya permintaan kami diabaikan.

Setelah semua persiapan beres, barulah tim inti IP dapat bekerja. Saya memutuskan untuk menjadi transmitter dahulu (duduk manis, diam di camp dan santuy), sisanya di Receiver. Hari pertama, tim receiver berangkat jam 8 pagi. Namun baru tiba di stasiun masing-masing kira-kira jam 11. Gila. Mereka tersesat atau memang jauh sekali. Hari ini selesai jam 3 sore. Namun Pak Ivan baru tiba di camp jam 5 sore. Setelah diceritakan medannya seperti apa, saya bersyukur duduk di transmitter. 

Setelah Array 1 selesai, Fawwaz mengeluh cape dan kakinya sakit. Karena kasihan gw gantian receiver. Ternyata memang jauh cuy, dan tanjakkan ketika pulang benar-benar tiada ampun. Beda elevasi 340 m dan jarak tempuh 4.6 km. Kalau begini ceritanya besok kami harus cari jalan baru. 

Untuk kru sendiri, berbeda dari Sukaramai yang ada empat shift. Di Gotting ada 2 shift dengan 2 minggu pershift. Sama seperti di Siuhom. Wajah-wajah lama kru yang pernah gw lihat kembali muncul. Ternyata beberapa dari mereka ada yang pernah bekerja dengan gw di blok Aek Natas. 

Ada wacana pegawai baru akan masuk. Dan schedule sudah dibuat oleh Pop. begini jadwal rosternya


Betapa senangnya hatiku karena yang kebagian libur pertama adalah gw. Ketika gw libur, Puguh, si anak baru akan masuk. Seharusnya gw mulai libur tanggal 22 Februari. Tapi Naas nasib gw. tanggal 21 malam Puguh ngasih tau kalau dia gabisa berangkat esok karena satu dan lain hal. Kena PHP, akhirnya libur gw diundur jadi tanggal 1 Maret. Tidak cukup sampai disana, sudah diundur, dipotong juga liburnya yang harusnya 2 minggu jadi 1 minggu. Tapi tak apa, demi kemaslahatan yang lain.

Sabtu, 27 Februari gw jalan dari camp menuju Kampung Nias, ditemani seorang porter yang membawa koper gw. Sampainya gw di kampung, ternyata gw harus nunggu mobil logistik datang menjemput, mungkin sekitar dua jam. Sinyal tak ada, mau ngobrol sama warga tapi kebanyakan tak bisa Bahasa Indonesia. Sampai akhirnya Puguh datang dengan jeep hitam logistik. First impressionnya sih orangnya ramah dan sopan.

Gw menumpang jeep sampai warung nenek. Di warung, gw dijemput oleh Pak Jono, driver dari perusahaan klien. Kebetulan hari itu Pak Arifin eksternal juga ikut. Sampai di Padangsidempuan, gw traktir Pak Jono di Rumah Makan Padang (tentunya direimburse ke kantor, he he). Pasti lelah jadi beliau, 8 jam nyetir. Kira-kira sekitar jam 4 sore kami sampai di mesh geologist.

8 Februari, setelah melalui break singkat, gw terbang lagi ke Sibolga. Kali ini dijemput oleh Pak Abdul dan Pak Khairil (orang safety). Saat itu gw melihat proses transaksi logistik yang lebih lengkap. Ternyata logistik dari warlok, oleh warlok, untuk warlok. Gw kira logistik disiapkan oleh klien langsung, ternyata kita menjemput ke rumah warga di dekat pasar, melakukan pembayaran dengan daftar yang diminta. Lalu logistik diporter oleh warlok. Dan sampai ke perut warlok.

Sesampainya di camp, gw mendengar cerita tidak sedap. Pada shift dua ketika gw libur, terjadi insiden pencurian. Jadi ada kru yang melapor kehilangan loudspeaker bluetooth (yes, it is a thing here..). Kang Herman sebagai orang yang paling tinggi di camp waktu itu menggeledah semua tenda. Bukannya speaker yang ditemukan malah wire 100 m yang masih tersegel di bawah tempat tidur seorang kru, sebut saja K. Karena Kang Herman baik, K dimaafkan. Semua orang sudah tau tabiat si K. Bahkan gw bersentuhan langsung dengan K ketika blok Aek Natas. Waktu itu HP gw tergeletak bebas, dan ketika mata gw teralihkan, HP itu sudah berada di tangannya. Untung gw sadar!

Untuk saat ini tugas utama gw adalah mentoring Puguh cara menggunakan receiver yang baik dan benar. Saat itu kami sedang di array 6, salah satu array terjauh. Kalau boleh request, gw lebih baik balik ke array 1. Medannya cukup terjal dan botak, ya, terjadi penggundulan hutan di sini. Baru-baru ini warga ingin buka kebun di sini, makanya semuanya ditebang. Karena gundul, setiap sore kami nestapa. Panas yang menyengat membuat stamina habis 2x lebih cepat. Karena gundul juga, tidak ada pegangan untuk menanjak dan menurun, kadang harus cakar-cakar tanah. Untung aja gada pohon salak.
 
Lahan yang dibuka dengan cara dibakar, penampakan array 06 (termasuk 4 foto dibawah)




 

 

 
Di Array 12, gw di training di receiver tengah sehingga krunya juga ganti. Yang paling gw ingat adalah Bang Hendra Hasibuan. Orangnya sangat talkative saking talkativenya gw ga fokus pas ngomong di radio (iya, gw ngomong ke orang lain aja dia masih ngomong ke gw..). 
 
Kata Fawwaz gw kaya rapper, emang iya?

 
Beliau cerita, sebenarnya Gotting sudah berkali-kali di eksplorasi. Dulu tahun 90an ada bule katanya naik helikopter, bawa sembako untuk warga lokal. Padahal niatannya ya nyari emas. Bang Hendra juga mengaku pernah bekerja dengan konsultan geologi yang bosnya orang Aussie. Dari situlah dia belajar tentang batuan dan pemetaan geologi. Dia juga bercerita bahwa sebenarnya dulu ketika sama-sama dieksplorasi, Gotting dan Batang Toru, Gotting lebih unggul secara cadangan. Tapi, ada oknum yang membuat seolah-olah data di Gotting mengindikasikan cadangan mineralnya sedikit (dan katanya orang Batang Toru). Sehingga, Batang Toru lah yang lebih dahulu dijadikan tambang, sedangkan Gotting sampai sekarang masih belum dibuka. Menurut Bang Hendra, kalau ada tambang, maka taraf hidup masyarakat akan naik. Gotting akan jadi pusat keramaian, tenaga kerja lokal akan terserap, bisnis-bisnis lokal pun akan berkembang (misal, katering untuk tambang), atau paling minimal tuan tanah yang lahannya digunakan sebagai tambang akan dibeli tanahnya dengan harga yang fantastis. Meski begitu, menurut gw walaupun Gotting memiliki cadangan mineral yang dapat dibandingkan dengan cadangan Batang Toru, pasti Batang Toru akan dibuka menjadi tambang duluan. Kenapa? Karena aksesnya lebih dekat ke jalan raya, sedangkan Gotting jauh di pedalaman. Sesimpel itu. 

Di array 12 juga kami kedatangan personil IP baru, orang Thai, namanya Prasopchai Hongsing, panggilannya Neung. Sebelumnya gw dan Fawwaz pernah ketemu orang ini di Thailand, beliau melatih kami terkait survey seismik refraksi. Dia adalah orang kantor yang jarang ke lapangan, kalaupun melapang hanya survey drone. Dia pernah survey IP, tapi udah lama banget, 4 tahun yang lalu katanya. Dengan kata lain, pengetahuannya tentang IP adalah 0.Awal-awal beliau mengoperasikan receiver bersama puguh. Untuk Array 11 dia dilepas sendirian. Masih belum bisa mandiri. Dia seringkali menghubungi Pop via radio, meskipun pakai bahasa Thai, gw bisa menyimpulkan dia masih kesulitan.

Puncaknya ada di Array 10, dua line sudah selesai troubleshooting dalam 1.5 hari dan dia masih belum selesai. Padahal sudah minta saran dari Pop. Tim support sudah kewalahan membantunya. Kru nya pun sudah lelah karena bolak-balik angkut kabel. Sudah ganti lima kabel tapi masalah masih belum selesai. Akhirnya dia minta bantuan gw, dia minta gw bawa kabel dari receiver gw ke tempat dia. 200 meter garis lurus (ya tapi kan jalannya ga lurus dan ga datar). Sampai sana gw disuruh cek kabel layaknya tim support oleh Neung. Gw gamau kan diperlakukan kaya gini. Pop aja yang supervisornya gapernah nyuruh-nyuruh gw kaya gini. Karena gw ga terima kelanjutannya gw suruh support line gw yang bernama Toni. Dengan cepat Toni menyapu 700 meter sisi timur line si Neung. Gw masih ga menemukan masalahnya. Akhirnya gw minta dia cek receivernya. Ternyata dia salah set up kabel. What the fuck? dia udah nyalahin semua orang padahal dia sendiri yang ga kompeten.

Kru baru gw pun juga berulah. mereka bernama Rahmat dan Lindung. Si Rahmat adalah mahasiswa tingkat akhir agribisnis yang penelitian skripsinya tertunda karena covid. Karena itu, dia nyari uang tambahan sebagai kru survey IP. Rahmat memang terkenal dengan fisiknya yang tidak sekuat orang-orang kampung pada umumnya. Pernah ketika menjadi kru Jump, dia kebagian bawa receiver. Jump sampai ke station dalam waktu 1 jam, sedangkan Rahmat tertinggal di belakang dan baru tiba 1 jam kemudian. Nah ketika sama gw, dia gw suruh cek kabel kira-kira 300 meter lah ke timur. Pas gw panggil lewat radio dia ga jawab sama sekali. Sampai semua orang yang pegang radio manggil dia, masih ga ada jawaban. Terus tanpa rasa bersalah dia balik ke receiver dan gw nanya kenapa ga jawab pas di radio. Jawabnya abis solat (memang sih, ada sungai kecil di sana, bisa lah buat wudhu). Gw yang tadinya mau marah-marah jadi diam. Ternyata malamnya, dia cerita di dapur ke Bang Tapran, bahwasanya dia ga jawab radio karena lelah bukan solat. Konyol sekali. Bang Tapran naik pitam, tapi hanya menceramahi. "Kalau memang cape, bilang di radio, minta istirahat, Bang Andre pasti ngerti, kalau kau ga jawab, orang-orang khawatir, di hutan ini banyak hewan buas loh".

Indomie darurat, mangkok dari alumunium foil

Sedangkan Bang Lindung, dia melakukan kesalahan ringan. Jadi, masa kerja kru itu 14 hari (15 dengan hari datang), jadi hari pertama tidak dibayar, namun hari ke-15 dibayar. Nah, beliau pulang hari ke-14, mentang-mentang hari ke-15 cuma setengah hari dia gamau ikutan. Akhirnya gajinya dipotong.

Untuk array 8 dan 7, gw request ke Pop untuk tetap di camp sambil mengoperasikan transmitter. Kebetulan banget itu lagi puasa. Jadi hidup lebih mudah. Kang Usmin aja masih puasa pas ke lapangan sebagai support, dan akhirnya pingsan. Mungkin kalau gw ke lapangan gabakal puasa kali. 

Ini pertamakalinya gw puasa tapi masih di tengah hutan. Vibenya menyenangkan. Apa mungkin menyenangkan karena gw tau bahwa gw akan libur 1 bulan? hohoho. Makanannya juga jauh lebih baik, entah karena cook nya atau memang karena ada es buah di setiap berbuka.

Untungnya, sebagian besar bulan puasa gw habiskan di rumah










Comments

Popular posts from this blog

CATATAN PERJALANAN GN SINDORO 3153 MDPL VIA KLEDUNG

Labuan Bajo

Catatan perjalanan: Kasepuhan Ciptagelar dan Beras Berusia Puluhan Tahun