CATATAN PERJALANAN KAWAH IJEN



jadi wacana ini dimulai setelah ketek selesai revisi skripsi dan saya selesai mengajar bimbel UTS 1 fisika TPB. Kebetulan ketek juga mau pulang ke rumahnya di Blitar. Sehingga, kenapa tidak sembari liburan saja? kami mengajak orang-orang di grup jurusan. Maklum, baru 4 bulan lulus kuliah masih banyak yang belum bekerja, hitung-hitung melepas jenuh sebelum bekerja. Dan yang merespon hanyalah tiga orang: Adit, Jore, dan Puar.

Dari Jl. Gunung kencana no 3, Ciumbuleuit kami berempat berangkat ke Stasiun Kiaracondong dan bertemu Adit di sana. Membeli makanan berat adalah hal yang sangat wajib karena perjalanan Bandung - Blitar mencapai belasan Jam.

Karena di kereta sangat membosankan, kami menghibur diri dengan bermain kartu remi. bermodalkan kain yang dibentangkan dari paha ke paha jadilah kain itu meja kartu. Kami bermain trump, 24, capsa dengan damai dan tidak gaduh. Tiba-tiba kami didatangi oleh petugas KA.

"Mohon maaf kami telah mendapat laporan ketidaknyamanan dari seseorang di gerbong ini, untuk itu mohon hentikan permainan kartunya"
"Lah pak, kami kan main ga berisik. kami juga ga berjudi, kenapa ga boleh lanjut main?" Protes Ketek
"Iya pak, di larangan PT KAI juga ga ada yang menyatakan bermain kartu mengganggu ketentraman" lanjut kami sambil menunjukan dokumen dari internet
"Itu pak liat ke sana. Dia yang melaporkan" potong petugas keamanan KA sambil menunjuk ke CCTV.

Terima kasih petugas KA, kalian berhasil merusak kebahagian kami.


Setelah belasan jam duduk di kursi yang sudutnya 90 derajat, tibalah kami di kota kelahiran Bung Karno pagi hari jam 9. Kami dijemput oleh Bu Isna, ibunya ketek. Kami diajak makan nasi pecel, makanan khas di Jawa Timur.


Fun fact: Di jakarta dan sekitarnya serta Bandung, pecel sering kita temui dalam bentuk pecel lele/ayam yang merupakan lele/ayam dengan sambel. Namun, pada tanah kelahirannya, pecel sendiri adalah bumbu kacang. Sehingga nasi pecel = nasi + bumbu kacang + sayur + tahu tempe.

Selesai makan, Bu Isna kembali bertugas sebagai dokter di kliniknya di Kota Blitar. Sedangkan kami pulang ke rumah beliau di Ponggok, Kab. Blitar. Di rumah kami disambut eyang uti. kami ongkang-ongkang kaki sebentar sebelum melanjutkan perjalanan di siang hari dengan mobil, ke Kawah Ijen.

Sayang seribu sayang mobil yang akan kami gunakan adalah Grand Livina manual. Satu-satunya orang yang bisa membawa mobil ini adalah ketek, sedangkan Jore dan Puar hanya bisa membawa mobil matic. Hal ini sangat memberatkan ketek. Belum lagi jarak Blitar - Kawah Ijen 398 km.


Setelah berkendara selama 3 jam, kami istirahat sebentar di SPBU di tol Surabaya - Probolinggo, sambil memakan nasi besek dari eyang.

Lanjut lagi dengan cuaca hujan deras kami melaju di tol baru yang harganya cukup mahal. Karena tol baru, saat melihat Gmaps kami kebingungan, kami berjalan di daerah yang tidak ada jalannya...

sekitar pukul 21 kami beristirahat lagi sambil nge cas hp di Ind*oma*ret di timur Probolinggo (saya lupa nama daerahnya).

Perjalanan ditemani cuaca hujan dan playlist Queen dari Sp*otif*y. Makin lama kami menyadari bahwa langit makin berwarna merah dan ada suara-suara bising seperti petir. Tak lama kemudian terlihatlah PLTU Paiton. Besar Sekali. Sangat banyak lampu sehingga warna langit disekitarnya berubah dan ternyata suara-suara bising itu berasal dari tempat ini.

Kami sadar kami sudah dekat dengan Kawah Ijen. Terlihat dari sempitnya jalan, lebatnya semak-semak, dan medan yang naik turun. Di sini jelas sekali Ketek sudah lelah dan ingin cepat sampai, di bagian ini dia berkendara macam pembalap. Tidak jarang kami berteriak dibuatnya. Sampai kami mendapati portal kawah ijen dan membayar retribusi sekenannya, barulah kami lega. Hari menunjukan pukul 00, pendakian akan dibuka ketika pukul 2. Sehingga kami bisa tidur di mobil sejenak.

Kami terbangun karena ada suara ricuh di luar pukul 2. Ternyata sudah banyak pendaki yang mengantre tiket. Kamipun ikut mengantre. Banyak sekali pedagang lokal yang menyewakan masker gas (bukan masker untuk orang sakit) seharga Rp. 25.000/pcs. Hal ini diwajibkan karena konsentrasi belerang di kawah sangat tinggi. Namun kami tidak langsung menyewa di pos tiket.

Banyak turis mancanegara yang "kabur" dari Bali. Maklum, esok adalah nyepi, jadi semua warga di Bali minim aktivitas, dan tempat-tempat hiburan akan tutup. Oleh karena itu bule-bule ini mati kutu dan memutuskan untuk melihat blue fire yang hanya ada di Indonesia dan Iceland.

Setelah peregangan sebentar, kami tancap gas. Menurut informasi warga lokal hanya butuh satu jam untuk mencapai bibir kawah. Ketek dan Jore yang kebetulan rajin olahraga dari minggu-minggu sebelumnya melesat di depan. Sementara Puar dan Adit yang sudah jompo tertinggal di belakang. Saya di tengah-tengah, karena tidak bawa headlamp jadi lebih baik saya berbarengan dengan Adit dan Puar, hitung-hitung mengawasi mereka agar tidak collapse karena treknya menanjak tanpa henti.


Fun fact: di Ijen ada penyewaan gerobak. Jadi kita duduk di gerobak dan ditarik oleh 3-5 orang, biaya jasa gerobak ini adalah Rp. 700.000/gerobak untuk naik dan Rp. 200.000/gerobak untuk turun.


Sampainya di bibir kawah, kami bertiga kehilangan Jore dan Ketek. Karena excited Puar dan Adit juga langsung menyewa masker. Saya agak pelit, jadi saya berpikir jika Puar/Adit kembali maka saya akan pinjam maskernya. Toh kata warga lokal durasi bibir kawah - kawah hanya 15 menit.

Hampir dua jam saya menunggu dan gerimis menerpa. Saya mulai putus asa dan menyewa masker. Ternyata memang jalur menuju kawah sangat sempit dan curam. Sehingga para pendaki harus mengantre apabila naik/turun. Saya berpapasan dengan Adit, Jore, dan Puar yang kembali dari kawah.

"Gimana Bro api birunya?"
"wah ga worth it, kecil banget, terus belerangnya pekat bikin sesak" kata Jore

Sempat saya berpikir untuk balik kanan. Tapi saya urungkan. Andre memang keras kepala. 

Sesampainya di kawah sudah ramai orang-orang, namun saya tidak menyaksikan adanya api biru. Saya telusuri pojok-pojok kawah. Ternyata ada sekelompok orang yang sedang menyaksikan api biru yang tidak cukup besar. Ternyata api tersebut adalah pembakaran gas belerang yang keluar dari pipa-pipa. Tidak ada angin berhembus kami menyaksikan dengan damai. Tiba-tiba api membesar, kira-kira sepanjang mobil Inova. Dan sialnya, angin berhembus ke arah kami. Tiba-tiba ada yang berteriak

"jongkok semua!!"

Semuanya jongkok, saya? Tiarap. Karena memang gasnya sangat menyesakkan. Sayangnya HP saya mati jadi tidak bisa mengabadikan momen tersebut.

Langit mulai terang dan ketika saya hendak kembali, asap pekat belerang menutupi rute kembali. Sangat berbahaya menapaki rute yang sempit dan curam ditambah dengan jarak pandang yang pendek serta adanya gas beracun yang menyesakkan. Saya mengurungkan niat. Dan nampaknya saya mengambil keputusan yang bijak karena kabut di kawah mulai menyingkir. Segera saya meminjam powerbank ke seorang ibu-ibu untuk mengisi daya HP dan mengabadikan pemandangan.





Setelah menikmati indahnya pemandangan beberapa penambang belerang hendak bersiap kembali ke bawah. Penasaran dengan berat beban yang mereka pikul saya coba mengangkat satu. GAK KEANGKAT!! Saya rasa pasti bebannya 50 kg++ dan mereka dibayar tidak seberapa (Rp 200.000 - Rp 250.000[1])untuk memikul beban itu naik turun melalui medan yang minta ampun dengan resiko berbagai penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan) yang disebabkan oleh gas beracun kawah. Beberapa belerang dikreasikan dengan berbagai macam bentuk sehinga dapat dijual sebagai aksesoris. Hidup memang keras.




Sumber
[1] https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/05/160521_majalah_penambang_kawah_ijen

Comments

Popular posts from this blog

CATATAN PERJALANAN GN SINDORO 3153 MDPL VIA KLEDUNG

Labuan Bajo

Catatan perjalanan: Kasepuhan Ciptagelar dan Beras Berusia Puluhan Tahun