Catatan Perjalanan: Dilarang Pacaran di Baduy Dalam (urang kanekes part 1)



19 Januari 2019


Malingping oh Malingping

Setelah dari rumah Kang Giri, kami pergi sesuai arahan beliau. Tujuan kali ini adalah Baduy. Dari Cimapag, kami turun ke selatan namun tidak sampai ke pelabuhan ratu, kami belok ke barat, ke Cikotok. Melalui jalur ini kami masih menyaksikan alam yang asri, hutan yang masih lebat, dan sungai yang mengalir dengan deras lantaran musim hujan. Jalan yang berliku membuat kami mengendarai motor dengan lambat sembari menikmati pemandangan lembah-lembah di perbatasan Sukabumi dan Lebak. Seringkali pembagian administratif dua daerah dibatasi dengan kenampakan geografi, salah satunya sungai. Termasuk dengan Lebak dan Sukabumi, dibatasi oleh sungai yang entah apa namanya.

Sampailah kami di suatu pertigaan, dimana kanan adalah Cirotan, dan lurus adalah Bayah. Fadli bertanya pada warga di pertigaan. Ternyata memang kalau mau ke Baduy lebih cepat harus lewat Cirotan. Kebetulan juga ada warga yang hendak menuju sana dengan motor. Kami berembug. Yang menjadi pertimbangan kami adalah waktu dan akomodasi. Kami akan sampai di Ciboleger malam hari, khawatirnya warga sudah beristirahat sehingga kami akan bingung menginap dimana. Dengan senang hati kami berbelok kembali ke pantai selatan.

Setelah terus-menerus mengemudi tanpa istirahat, tibalah kami di Bayah. Bayah adalah suatu kecamatan di Lebak Selatan, berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sejak zaman kompeni, daerah ini terkenal oleh tambang batubaranya. Sampai saat inipun kami masih menjumpai tumpukan-tumpukan batubara di pinggir jalan. Sebagai orang yang pernah belajar geologi, saya bertanya-tanya “dimana cebakannya?”. Ternyata Rafid yang merupakan sarjana pertambangan pun juga berpikir demikian. Namun, perhatian kami akan batubara teralihkan oleh putihnya pasir pantai di Bayah. Pasir pantai yang menggoda untuk diinjak dan disinggahi. Begitu juga batu karang hitam yang berbaris meminta untuk dijamah. Kami berkendara dengan sangat pelan untuk mencari spot yang indah dan nyaman sambil menikmati sunset.

Pantai Bayah


Kala gelap menjemput, kami melanjutkan perjalanan. Sempat terpikir oleh saya untuk menginap di pantai karena banyak sekali saung-saung tersedia, namun tidak tahu apakah gratis atau berbayar. Tapi kami berpikir faktor keamanan karena kami membawa perempuan. Kami memutuskan untuk singgah di kota terdekat karena di gmaps satellite terlihat keberadaan pemukiman yang rapat tidak jauh dari Bayah.

Sampailah kami di Malingping. Namanya cukup asing dan ternyata sangat ramai. Banyak kendaraan berlalu-lalang, para remaja komunitas lokal tumpah ke jalanan, dan banyak sekali orang disekitar alun-alun Malingping. Kami makan di sebuah warung kaki lima di timur alun-alun, depan kantor satpol pp. Fadli bertanya

“a’ mun di masjid agung tiasa nginep diditu?” (kalau di masjid agung bisa nginep ga?)
“gabisa a’ soalnya dikunci kalo malem” balasnya dengan Bahasa Indonesia
“kalau mau ke pendopo satpol pp aja, tapi minta izin dulu” lanjutnya

Lalu dia ngobrol ke emaknya dengan Bahasa sunda. Kenapa dia tidak menanggapi Fadli dengan Bahasa Sunda (?).

Selesainya kami makan kami terkejut dengan harga makanan. Saya dan Rafid membayar masing-masing Rp. 40.000 untuk soto daging + nasi + ati ampela. Fadli juga bayar sedemikian. Ute dan Fani membayar Rp. 25.000 karena hanya beli sate dan nasi. Kami merasa “ditembak”. Pesan moral: tanyalah harga sebelum membeli.

Kami mendekat ke Pendopo yang disebutkan. Tapi para wanita memberi isyarat tidak mau karena terlalu banyak laki-laki disana. Lantas kami berkomunikasi dengan satpol pp yang sedang ada di pos. kami jelaskan maksud dan tujuan. Beliau menerima kami dan menyiapkan tempat menginap di ruangan yang seadanya. Sangat baik sekali bapak-bapak ini.



20 Januari 2019



Terbangun dari tidur di gudang satpol pp Malingping. Satu persatu beranjak mandi. Setelah mandi kami pergi ke pasar untuk beli sendal dan leumeung. Leumeng adalah ketan beras yang dibakar di dalam bambu. Selain Leumeung, makanan khas Malingping adalah baso ikan, sepertinya Tasik punya saingan disini bung. Tidak cukup sarapan leumeung kami sarapan mie ayam dan baso di pertigaan pasar. Syukurlah kami menanyakan harga terlebih dahulu dan ternyata sangat terjangkau. Mie Ayam biasa Rp. 8.000, bakso rusuk Rp. 15.000, mie ayam bakso jumbo Rp. 15.000. Setelah itu kami kembali dan packing. Kami pamit ke ibu tetangga dan pak satpol pp.

Tempat kami bermalam (perhatikan botol air aren yang otw menjadi tuak)



Menuju Kanekes!

Kami melaju dengan kecepatan tinggi, seperti biasa formasinya, Rafid di depan (karena ga enak ga ngebut pakai motor 200 cc), saya di tengah karena lambat, dan Fadli di belakang. Tiap ada percabangan jalan kami selalu berhenti. Jalannya mulus tidak berlobang, namun turun naik dan belok belok, jadi perlu diwaspadai. Kira-kira kurang dari 90 menit kami sampai di gunung kencana. Mulai dari sini jalan rusak menanti. Kami sempat isi bensin dan si ibu berkata Baduy sekitar dua jam lg. Dari jalan masuk Gunung Kencana pemandangan berbukit-bukit mengingatkan saya pada Keerom, Papua. Jalan turun naik belok belok dan rusak penuh genangan air kami lewati. 

Jalan menuju Kanekes



Tiap pertigaan kami bertanya sampai ada suatu saat kami salah jalan dan dianjurkan putar balik, sebenarnya masih bisa ke Baduy, tapi lewat medan tanah merah yg kurang memungkinkan untuk motor kami. Tiba kami di suatu pertigaan dimana semua jalan bisa ke Baduy. Via Cijahe, via Ciboleger dan via jalur medan tanah merah. Warga di pertigaan menyarankan lewat Cijahe. Karena dekat, jalannya bagus, dan durasi menuju Baduy Jero (sunda: dalam) via jalan kaki tidak panjang. Sedangkan lewat Ciboleger jauh, jalannya jelek dan durasi untuk ke Baduy Dalam bisa 2x lipat. Jelas kami pilih Cijahe. Sebelum itu kami lupa narik duit, padahal atm terakhir ada di belokan Gunung Kencana. Alhasil kami berangkat dengan uang seadanya. 

Baru 15 menit kami jalan dengan motor sudah ada tulisan "Baduy Jero" di belokkan kiri via Cijahe. Kami masuk kedalam dan ada parkiran. Ternyata kampung Baduy Dalam telah menerima tamu kemarin malam sebanyak 60 orang. Di parkiran ini ada preman mendekati kami suruh parkir dan bicara ke kami. Gerak geriknya sangat mencurigakan namun jelas. Kami disarankan beli perbekalan seperti beras dan ikan asin di warung warung parkiran. Padahal kami tanya warga Baduy Dalam yang sedang ada di parkiran

"Tidak usah bawa apa apa" kata Kang Safri, yang nantinya di rumah beliaulah kami bermalam

Rafid yang kurang suka berkomunikasi dengan mereka (preman) bertemu dengan Kang Safri, warga Baduy Dalam. Katanya kami bisa menginap di tempat dia. Orangnya cenderung gaul dan bisa berbahasa indonesia dengan fasih. Kami putuskan untuk menjadikan beliau sebagai guide kami. Lalu perjalanan dimulai.

Masyarakat Baduy Dalam (ikat kepala putih) sedang beristirahat setelah mengangkut durian


Sebelum masuk daerah Baduy. Kami harus mendaftar di buku tamu, mengisikan nama, nomor ktp, dan tanggal masuk & keluar, cukup diisikan oleh perwakilan rombongan lalu membayarkan uang retribusi seikhlasnya dan memasukkannya ke kotak.

Pos pendaftaran


Hal yang pertama kami temui di perjalanan adalah lumpur. Jadi saya dan kawan kawan langsung lepas sendal karena tiada gunanya. Bahkan dengan kaki kosongpun kami masih kerepotan karena jalanan sangat licin. Orang-orang Baduy Dalam yang pulang bersama kami jalan dengan sangat santai namun tidak terpeleset. Setelah lumpur, medan seperti bebatuan yang disusun pun muncul namun karena hujan. Medan ini tidak memberikan ampun sedikitpun. Saya dan Rafid tertinggal di belakang karena Ute dan Fani dipandu oleh warga (dipegangi tangannya) sementara Fadli hobi berlari. Saya sering sekali terjatuh karena memang betul licin. Saking sering jatuh, Ayah (bapaknya Kang Safri) sampai tertawa dan membantu saya.

Sepatu hanya akan mempersulit keadaan, percayalah


Kami berjumpa dengan beberapa anak kecil perempuan Baduy Luar mungkin usianya <10 tahun sedang mengangkut kayu bakar yg kelihatannya berat. Mak keras sekali hidup disini.

Kami melewati jembatan bambu yg diikat dengan tali ijuk. Hebat. Tanpa paku sedikitpun. Tapi kekurangannya adalah, licin jika pakai sepatu. Percayalah kaki kosong adalah pilihan terbaik. Dari Cijahe, akan ada dua jembatan bambu, Kampung Cibeo terletak persis setelah jembatan kedua. Jembatan pertama adalah batas antara Baduy Dalam dan Baduy Luar, jadi terhitung dari jembatan ini, kita tidak boleh lagi menggunakan teknologi seperti merekam.

Jembatan bambu yang hanya diikat dengan ijuk tanpa paku


Sebenarnya Cibeo adalah kampung Baduy Dalam yang paling jauh dari Cijahe, dua kampung lainnya: Cikertawana dan Cikeusik lebih dekat ke Cijahe. Kami sempat melihat leuit di sepanjang perjalanan, mirip bentuknya seperti di Ciptagelar, namun leuit disini kakinya lebih tinggi. Beberapa adalah milik Cikertawana dan Cikeusik. Dan yang paling dekat Cibeo tentu milik mereka. Alasan kenapa leuit dibangun terpisah dari kampung adalah apabila terjadi kebakaran leuit tidak ikut musnah, karena pernah terjadi kebakaran di Baduy Dalam.

Sampainya kami dirumah kang Safri saya kagum sama rumahnya. Saya sempat mengelilingi rumahnya sebentar. Benar-benar tidak ada paku, hanya mengandalkan sistem interlocking. Seperti rumah panggung biasa, dindingnya terbuat dari anyaman bambu di beberapa titik sengaja dilubangi sebagai jendela. Di depan terdapat sedikit teras dan di kanan biasanya ada tempat induk ayam mengerami telur.. bagian bawah panggung diisi kayu bakar. Atapnya terbuat dari susunan daun aren. Di dalam rumahnya terdapat empat ruangan, tiga ruangan terbuka (saya lupa namanya) dan satu ruang tertutup yang dibatasi oleh tirai bernama imah, ruangan ini sekaligus menjadi dapur dan kamar tidur ketika ada tamu.


Rumah panggung tampak depan. Note: karena tidak diperbolehkan memotret saya akan memvisualisasikan apa yang saya lihat sebisa mungkin


Rumah panggung baduy tampak samping


Denah rumah panggung Baduy dalam, Hanya ada satu pintu!


Kami langsung disambut dengan Kadu (Sunda Banten: durian), ini adalah alasan utama Fadli menghasut kami ke Baduy, sedang musim durian. Ada satu durian yang saya ingat sekali, kecil tapi manisnya seperti Pop Ice durian. Begitu nikmat. Setelah itu kami diberi makan nasi dengan ikan asin. Entah kata siapa, orang Baduy suka ikan asin. Kenapa mereka tidak membuat kolam saja ya (ternyata setelah saya keluar dari Baduy, saya browsing, Orang Baduy dilarang mengubah jalan air, termasuk membuat kolam).

Kami merasa begitu bau, karena itu kami mandi di sungai. Airnya dingin. Di Baduy Dalam menggunakan sabun, sampo, dan detergen sangat dilarang karena mengotori air. Oleh karena itu mereka menggunakan daun Honje sebagai pengganti sabun dan jeruk nipis sebagai pengganti sampo. Namun untuk mencari jeruk nipis harus jauh ke hutan dan kami tidak tahu apa itu daun Honje. Selain sungai, terdapat juga pancuran tertutup. Jadi bagi para wanita yang berkunjung jangan khawatir masalah mandi.

Setelah segar mandi. Kami berbincang-bincang dengan Kang Safri, istrinya, dan putranya, Naya. Kami tidak menyangka usianya sudah 31 tahun, kami menebak masih 20 tahunan, sedangkan istrinya berumur 27 tahun, dan Naya berumur empat tahun. Rumah ini dibangun dengan harga 16 juta, baru berusia dua tahun. Uang itu dibayarkan ke sesama orang Baduy yang mengumpulkan kayu, membuat atap, menganyam bambu, dll dan dibangun dalam dua hari.

Sebenarnya tamu diperbolehkan menginap 1x24 jam, itu adalah ketentuan dari Pu’un, ketua adat. Tiap kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik) punya Pu’un masing-masing. Namun kami diperbolehan menginap dua malam oleh Kang Safri jelasnya sambil memainkan kecapi.

Beliau cukup penasaran dengan Ciptagelar, dan meminta kami menceritakan pengalaman disana. Setelah kami ceritakan budayanya, rorokan, sampai bentuk leuitnya dengan detil, Kang Safri menyimpulkan bahwa Baduy dan Ciptagelar mungkin ada hubungan leluhur.

Tidak seperti di Ciptagelar, dimana semua yang bertamu harus bertemu ketua adat. Di Baduy, hanya orang-orang yang berkepentingan saja yang boleh bertemu Pu’un. Misalnya mencari wangsit dan kepentingan yang bersifat myth lainnya. Tidak seperti Ciptagelar juga, Pu’un tidak semata-mata dipilih dari garis keturunan, tetapi juga dipilih berdasarkan auranya. Pu’un tidak menjabat seumur hidup seperti Abah. Jika ada factor usia atau factor kekuatan yang menurun, maka harus ada regenerasi Pu’un.

Seorang dari kami bertanya

“Nikahnya orang Baduy gimana si kang?”

“ya kalo dulu mah banyak yang dijodohin. Tapi, karena banyak yang kurang harmonis, sekarang bebas jadinya”

“kalau nikahnya gimana kang?”

“ya biasa aja ada acara, terus Pu’un lah yang menikahkan kami”

“berarti dulu pacaran dulu dong?”

“jelas, tapi kami mah lain sama orang kota gaya pacarannya. Kalo di kota biasa pacaran beduaan. Kalau disini pacaran beduaan melanggar hukum adat. Jadi minimal pacaran itu bertiga, ada yang jadi saksi biar ga disangka yang aneh-aneh”

Malam sudah larut, kami disuruh mematikan lampu minyak apabila hendak tidur. Untuk mencegah kebakaran.


sketsa lampu minyak



21 Januari 2019


Saya terbangun jam 0.30 karena udara yang sangat dingin. Padahal ketika hendak tidur tadi masih cukup hangat. Tangan saya meraba-raba sekitar mencari senter untuk penerangan dan mencari sleeping bag, setelah badan saya terbungkus baru saya dapat tidur kembali.

Note : orang Baduy Dalam akan memperbolehkan tamu menggunakan senter karena membawa lampu minyak sangatlah sulit dan rawan tumpah sehingga resiko kebakaran tinggi.

Bangun pagi hari kami disuguhi mie, ikan asin dan nasi, semuanya habis sudah karena kami cukup lapar. Si Teteh pamit hendak pergi ke saung, tempat beristirahat setelah bekerja di huma. Awalnya kami ingin ikut, namun si Teteh bilang jaraknya jauh kira-kira butuh satu jam. Padahal kami sangat ingin melihat orang Baduy bertani dengan Kujang (belati khas sunda yang menjadi lambang Kota Bogor) serta melihat ibu-ibu membuat songket.
Setelah itu kami istirahat sebentar. Lalu fadli ngomel,

"Kalo mau tidur2 dirumah aja"

Akhirnya kami keluar keliling kampung, suasana sangat sepi di sisi sungai, memang siangnya warga Baduy Dalam pergi ke huma atau petik durian, sampai akhirnya kami tiba di lapangan kecil di tengah kampung Cibeo. Terlihat beberapa laki-laki sedang duduk duduk dirumah itu. Kami ngobrol dengan mereka dan disambut dengan baik. Ada empat orang disana. Ada yang sedang merajut tas dari tali, ada yg masak air dan dua lagi gabut. Ayah datang dan membawakan makanan untuk kami yakni durian dan rambutan. Saya mencoba beberapa sementara yang lain, terutama Ute menggila.

Kembali lagi ngobrol-ngobrol, Fadli bertanya “dimana rumah Pu’un?”, mereka menunjukkan rumahnya. Ada pembatas jalan disana dimana terdapat dua bambu. Kata mereka kita gaboleh kesana kecuali ada perlu. Jika diperhatikan semua rumah di Baduy Dalam menghadap selatan – utara, sedangkan rumah Pu’un tidak.  


note: gambar ini tidak akurat, hanya berfokus pada pembatas bambu dan rumah Puun saja


Tidak lama kemudian beberapa orang pendatang muncul dari arah pancuran. Mereka datang mendekati rumah Pu’un. Kata warga sekitar memang mereka mungkin ada keperluan. Jalur yg mereka gunakan beda dengan kami, mungkin mereka lewat Ciboleger.

Lalu datang orang jualan pikulan, kalian tidak salah baca guys. Baduy Dalam trnyata tidak se isolated yang orang bayangkan. Ada penjual pikul yang bahkan bukan orang Baduy Luar datang. Mereka jual tungku, mie, makanan ringan dengan harga terjangkau. Mungkin inilah salah satu kenapa ada sampah plastik di Baduy Dalam. Dan ternyata orang Baduy Dalam sudah mengenal uang sejak zaman dulu.

Siang kami ke rumah si Teteh sudah kembali, Kang Safri dan adiknya Agus juga kembali dari hutan dan membawa beberapa durian, saya mencoba dua butir dan yg lain seperti biasa, lupa diri. Setelah itu kami ditawarkan untuk ikut ngala kadu (sunda: mencari durian). Kami harus jalan dulu sampai bertemu leuit Cibeo ke arah Cijahe. Nah disana kami menyaksikan kesaktian lain orang Baduy, pemanjat yg hebat. Dan pohon duriannya tidak tanggung-tanggung 50 meter. 15-20 meter pertama pohon duren tidak memiliki ranting, jadi jalur pijakan harus dibuat dengan golok. Mereka memanjat dengan lihai dan dengan menggunakan tali, galah berjaring dan karung mereka turunkan durian yang mereka petik.

Note : jangan berada dekat pohon durian selain resiko tertimpa durian, apabila anda melihat keatas, maka akan ada pemandangan menakjubkan.

Kami bertanya “adakah yang pernah jatuh dari pohon?”, jawabnya “adatuh Si Ayah”. Katanya dulu beliau terpeleset dari pohon ketinggian 15 m, lalu terjatuh dan mendarat di batu yang menciderai kaki beliau. Sehingga, kakinya terputar ke belakang, 180 derajat. Sembuhnya? Ya diurut. Sembari dengar cerita, kami disuruh mencicipi durian muda. Teksturnya seperti nangka dan rasanya cenderung hambar.

Di bawah leuit kami menunggu. Ternyata fungsi batu di kaki leuit adalah mencegah melapuknya kayu akibat kelembapan tanah. Hujan turun dan sangat deras, mereka tetap memetik sampai habis. Agus menawarkan tuk mencarikan daun pisang sebagai payung untuk kami. Ute menjawab dengan mudahnya. Kami mengkritisi tindakkan Ute. Padahal untuk mencari daun pisang agak jauh di sekitar sana.

Setelah agak reda kami kembali ke rumah. Daun yang kami bawa digunakan sekaligus untuk makan nasi bersama-sama dengan ayam bakakak dan mie instan. Karena keluarga Kang Safri (12 orang) ikut makan sore itu. Suasana makan sangat riang, Ute memberikan bon cabe level 30 pada mereka, dan mereka kepedasan. Mereka makan dengan cepat dan kembali mencari durian.

Sementara kami berbincang dengan teteh soal beras. Ternyata mereka beli beras cuy, padahal mereka punya padi yang sudah puluhan tahun umurnya, kenapa mereka ga makan itu? Tetapi, si Teteh hanya terdiam.   

Setelah itu kami mandi dengan daun honje. Daun honje ternyata adalah daun dari tanaman kecombrang. Buah yang biasa jadi pelengkap sambel di Ciptagelar. Banyak yang bilang bahwa daunnya berbusa jika digosokan ke badan. Itu hanya mitos belaka.

Hujan membuat sungai meluap dan bewarna coklat. Sehingga kami harus mandi di pancuran. Yang perempuan mandi di bilik pancuran, saya dan rafid mandi di pancuran luar. Dan fadli modol. Daun honje diremas dengan tangan lalu digosokan ke bagian tubuh kecuali rambut. Hujan kembali turun. Kami berlari ke rumah.

Di rumah kami ditawarkan pop mie oleh Kang Safri, terlihat jelas bahwa kami kehabisan beras. Disanalah kami menanyakan adakah kenalan mereka di Baduy luar agar kami bisa menginap disana? Kang Safri bilang ada, namanya Kang Emen, namun rumahnya di Baduy luar Ciboleger bukan Baduy luar cijahe, jadi kami harus keluar lewat Cijahe dan naik motor ke Ciboleger. Dan masuk lewat sana, karena jarak dari Cibeo ke Ciboleger 8 km dan naik turun. Sedangkan Cibeo – Cijahe hanya 3.3 km.

Setelah makan kami penasaran seberapa tebal telapak kaki orang Baduy dalam. Mengingat mereka diharamkan untuk menggunakan kendaraan dan alas kaki. Ternyata tebal, tapi tidak terlalu keras seperti yang saya bayangkan. Kang Safri pun angkat bicara. Sebenarnya, kadang dia sengaja menispiskan telapak kakinya dengan pisau. Terlalu tebal ternyata tidak baik. Jikalau telapak kaki berkulit badak itu tertusuk beling kecil, maka tidak akan terasa sama sekali bahkan bisa masuk ke daging. Begitulah alasannya, logis ya?


22 Januari 2019



Pagi kami bangun, kami langsung bersiap siap packing. Sarapan sudah tersedia yakni mie, ikan bawal, dan nasi. Lalu Kang Safri datang ikut sarapan. Akhirnya sekarang momen of truth. Rafid bertanya.

"Kenapa beli beras a, padahal banyak beras di leuit"

"Ya gapapa kita nyetok aja"

"Tapi aneh aja gitu kan msh bisa dimakan"

"Sebenernya kita udah gagal panen 8 tahun, jadi kalo di baduy dalamada istilah sawinduan, yakni gagal panen sekitar 8 tahun. Jadi kita harus siap, biarin aja beras di leuit jadi stok. Sementara kita beli aja dulu"

Mungkin mereka lebih senang kehilangan uang ketimbang kehilangan beras…

Memang seharusnya kita beli beras untuk minimal diri kita sendiri jika ingin menginap di baduy dalam, sehingga tidak merepotkan perberasan mereka.

Selesai makan kami bertemu dengan Kang Safri dan saudara - saudaranya dan dia di dekat jembatan ke arah Cijahe. Sudah tertumpuk sekitar 250 butir durian yang siap diangkut ke Cijahe. Kami disuruh duluan dan mereka akan menyusul. Saya yakin demikian karena jalan kami di tanah licin berlumpur sangat lamban dan akan menjadi beban apabila jalan persis di depan mereka.

Kami dipandu oleh dua anak kecil yang juga membawa durian. Mereka berumur 8-10 tahun kira kira dan membawa 10 durian tiap anak. Sedangkan kang Safri bisa mengangkat 50 durian. Saya dan rafid tertinggal di belakang karena pemandu kami, Ute, Fani dan Fadli cepat sekali. Setiap sampai di pertigaan kami selalu bingung. Dan harus gambling. Saya tidak habis piker dengan oran-orang kanekes dalam ini. Bayangkan dengan beban kira 50 durian, mereka bisa berjalan dengan stabil di tanah licin baik tanjakan dan turunan. Akhirnya kami bertemu dengan pemandu di saung tempat berteduh ketika hujan dua hari yang lalu. Namun, kami membiarkan rombongan pengangkut durian lewat duluan, agar memudahkan mereka.

Ternyata orang Baduy bisa lelah. Mereka beristirahat dahulu sambil menunggu dua orang saudaranya yang tertinggal. Saya iseng coba angkat pikul durian yang berjumlah 26 buah. Memang bisa diangkat, namun sangat sulit berjalan dengan benda itu. Butuh kestabilan tingkat dewa. Inilah kesaktiannya.

Pemandangan huma Baduy luar


pemandangan di Baduy luar



Mencoba mengangkat 26 durian






Istirahat sejenak, Kang Safri berpose "love" oppa, dan bocah di paling kanan (baju hitam) yang mengangkut 26 durian


Setelah berjalan 1.5 jam kami sampai di Cijahe. Disana kami melihat Kang Safri dkk unloading durian. Sambil bersantai kami berfoto dan bayar parkir Rp. 20.000 untuk tiga motor. Di toko kami cek harga barang di toko souvenir. Tas koja Rp. 35.000, ikat kepala baduy dalamRp. 50.000, dan baju Rp. 200.000. Disana juga jual gelang pakis dan gantungan kunci tapi kami tak tanya harganya. Kamipun bertemu rombongan tamu dari IPB, mereka mengaku s2. Mereka pergi lewat Ciboleger, mampir ke Cibeo, dan pulang lewat cijahe. Namun mereka harus kembali ke Ciboleger karena mobil mereka ada disana. Bahkan salah satu dari mereka ada yang niat nebeng ke rafid. Tapi rafid menolak dengan halus. Berpisahlah kami dengan Kang Safri, beliau bilang

“Jangan kapok ya main kesini, hehe” sekaligus pamit karena harus mengangkut durian lagi.

Kang Safri dan sekeluarga mengucapkan sampai jumpa! (Ayah ada di paling kanan kedua, "muka sangar bak pejuang" kata Rafid)


Kami tancap gas ke Ciboleger. Sebelum itu kami harus memiliki cash, barangkali butuh untuk parkir, kebutuhan, dan beli oleh-oleh. Mampirlah kami di BRIlink, tarifnya adalah Rp. 10.000 tiap tarikan Rp. 500.000, berlaku kelipatan. Perlu waktu kurang dari dua jam untuk mencapai Ciboleger, dengan medan naik turun, jalanan rusak, dan pemandangan yg indah.

saran:
1. Datanglah ketika musim durian
2. Datanglah dengan membawa makanan misal beras dan ikan asin
3. Bulan Februari - Mei Orang baduy dalam akan puasa, pengunjung tidak boleh masuk





Comments

Popular posts from this blog

CATATAN PERJALANAN GN SINDORO 3153 MDPL VIA KLEDUNG

Labuan Bajo

Catatan perjalanan: Kasepuhan Ciptagelar dan Beras Berusia Puluhan Tahun