EKSPEDISI PAPUA TERANG: OFF ROAD KE FAVENUMBU

4 Juli 2018

Ekspedisi papua terang by PLN  kali ini akan membahas perjalanan ke Favenumbu. Seperti biasa ketika saya tidur nyenyak, yang lain harus protes dengan dengkuran saya yang lelah. Aroma sayur lilin yang saya makan tadi malam masih terasa di hidung, bercampur dengan sejuknya udara di Yuruf yang sedang diselimuti kabut. Anak-anak anjing yang ada di depan rumah Pak Guru menjadi hiburan pagi kami karena mereka sangat lucu dan menggemaskan. Setelah kami sarapan kami pamit dengan Pak Guru lalu menjemput seorang Pace dari Amgotro (untuk selanjutnya kita singkat jadi PA). Om Jefri bilang kalau nasib kita sial akan turun hujan sehingga kita harus berjalan kaki ke Favenumbu selama tujuh jam. TUJUH JAM! Setelah mendengar ucapan itu saya hanya bisa berdoa:

"Tuhan, jangan turunkan hujan pagi ini"

Singgah di Amgotro

Setelah menjemput PA, kami laju dan menggeluti medan berupa jalan setengah jadi. Seperti jalan yang baru dibuat dan diberi kerikil. Keadaan masih aman ketika melewati jalan setengah jadi meskipun topografinya sudah seperti lagu Freshboy, naik turun. Kami melewati sebuah pertigaan dimana jika kita ambil lurus maka akan sampai ke Akarindah, jika ke kanan maka akan sampai di Favenumbu. Sampai di ujung jalan setengah jadi, kami mendapati jalan seperempat jadi, yakni jalan yang berupa tanah liat. Setelah melewati satu turunan, kami sampai di Dusun Konggrobu, bagian dari Amgotro. Di sinilah kami mendapat penumpang-penumpang tambahan.

Penumpang tambahan dari Konggrobu (PA mengenakan baju coklat dengan garis-garis horizontal putih)
Setelah mendapati Dusun tersebut kami mendapati sebuah tanjakan. Tanjakan ini masi cukup mudah walaupun sudah membuat para Babinsa dan PA di bak belakang terhambur. Saya saja yang duduk di depan (di dalam kabin) masih menjerit-jerit karena adrenalin yang sangat menyenangkan. Apalagi mereka yang terhempas dan terlempar di bak belakang, pasti lebih asik lagi. Pada Tanjakan selanjutnya keadaan makin parah. Penumpang yang duduk di bak harus turun semua demi meringankan berat mobil. Sempat sesekali sampai di atas tanjakan, mobil sengaja dimatikan untuk menjaga suhu agar tidak overheat. Semua penumpang di belakang sempat protes sembari bercanda pada Om Jefri. 

"Hei supir, bawa mobil pelan-pelan toh. Jang kasih terbang pace seperti tadi" kata Pak Basmin menunjuk Kakak Yan sambil tertawa.

Tanjakan dan turunan sudah kami lewati. Walau dengan mobil 4WD, tetap saja melihat tanjakan yang tinggi bisa membuat kami mental breakdown. Namun, satu hal yang pasti, kami tak harus jalan kaki tujuh jam karena tidak hujan. Sampailah kami pada titik terakhir dimana mobil tidak bisa bergerak. Tempat itu dinamakan Camp pak Ondo oleh Om jefri. Sebab, lewat dari itu, banyak jembatan putus kami temui. Terlebih lagi jalannya masih naik turun. Teriknya matahari membakar ubun-ubun kami karena sesungguhnya jalan yang kami lewati adalah jalan mobil. Sehingga tidak ada pohon yang menghalangi sinar mentari. Setelah jalan kaki 90 menit kami sampai di Pintu Angin. Tempat ini dinamakan pintu angin karena ada bukit putih yang menghadang di depan mata, sementara di bagian kanan bukit terdapat lembahan tempat lewatnya angin. Dan menurut Warga Dusun Tengah yang kami lewati setelah camp pak ondo, Favenumbu terletak dibelakang bukit putih tersebut. Sejenak kami beristirahat di depan Pintu Angin sambil menikmati udara yang bergerak dengan sendu.

Perjalanan kami lanjutkan. Turun dari Pintu Angin, kami harus mendaki bukit putih. Tentu kami tidak melewati puncaknya, melainkan bagian pinggirnya. Setelah saya amati, kemungkinan bukit ini merupakan batuan karang di laut, atau geologist akan lebih akrab dengan sebutan batugamping yang mengalami proses uplifting karena adanya orogenesa. Tapi mungkin juga itu adalah analisis ngawur dari seorang geofisikawan yang sedang kelelahan sambil terbayang skripsinya yang belum direvisi (curhat). Setelah mendaki gunung, jalan cukup datar kami lalui, lalu akan ada turunan dan tanjakan. Setelah itulah saya merasa bersyukur, karena telah melihat atap-atap rumah dari kejauhan. Kata PA, itulah Favenumbu. Tapi tidak sampai disitu, kami harus melewati satu turunan dan tanjakan lagi untuk sampai di Favenumbu.

Sampai di depan Favenumbu


Kami langsung disambut oleh warga. Dengan taktis kami bertanya dimana rumah Pak Kepala Kampung, disanalah kami duduk-duduk sambil rehat sejenak. Warga mengerumuni kami bak ingin tahu sebenarnya siapakah kami, apa tujuan kami, mungkin bahkan mengapa kami membawa Babinsa. Seperti biasa kami membagikan permen untuk anak-anak kecil sebagai tanda persahabatan. Tak ketinggalan mace dorang pun ikut merasakan permen. Kami mengutarakan niat kami dengan jelas. Ucap Pak Kepala Kampung,

"Kalau mau begitu, nanti sore silahkan bapak dan ibu berbicara di lapangan, agar warga mendengar dan bisa menilai"
"Untuk saat ini silahkan bapak dan ibu istirahat, pasti cape toh jalan jauh kemari?"

Pak Andreas Kri yang memakai topi hitam. (trivia: Pace kedua dari kanan memiliki rokok daun di telinganya)


Kami berunding terlebih dahulu dengan para Babinsa untuk merencanakan pertemuan di lapangan nanti sore. Kata Pak Basmin,

"Nanti ngomong saja seadanya, setulusnya. Saya yakin kalau niat kita baik tidak akan dipersulit".

Setelah berunding kami semua terkapar tidur siang.

Pukul 15.00 WIT, kami bergerak ke lapangan.

Tapi memang budayanya orang Indonesia itu punya jam karet, padahal mereka sendiri yang bilang jam 3, mereka sendiri yang malah terlambat. Tidak di Jawa, di Sumatera, sekarang di Papua juga begitu. Sekitar 20 menit kami menunggu, kami duduk di kursi-kursi merah, moderator pun membuka forum, beliau memperkenalkan diri, membacakan mata acara yang terdiri dari

1) Sambutan Kepala Kampung,
2) Permintaan Warga,
3) Penyampaian niat dan tujuan tim survei.

Pertama, Pak Kepala Kampung (mungkin hanya dia pejabat yang saya ingat namanya) Andreas Kri, menyampaikan kata sambutan. Dia mengaku,

Pak Andreas (hijau) memberi sambutan.

"Dengan segala keterbatasan saya dalam berbahasa Indonesia, dengan segala keterbatasan kami, inilah Favenumbu. Kampung yang ada di perbatasan RI-PNG" inilah kalimat yang paling terngiang di telinga saya.

Kedua, permintaan warga. Hal ini disampaikan oleh moderator. Permintaan pertama adalah akses jalan. "Dengan adanya akses jalan maka kami dapat menjual hasil kebun kami ke kota dengan lebih mudah". Yang kedua, adalah listrik. Yang ketiga, adalah guru. Karena anak-anak sudah tidak sekolah satu bulan lebih karena gurunya kabur.

Moderator (kupluk merah) membacakan tuntutan warga.

Ketiga, pemaparan tujuan survei. Jadi hal ini dijelaskan oleh Mas Adi, beliau pun berdiri dan menjelaskan, kira-kira seperti ini penjelasannya kalau disingkat,

"Kami adalah tim yang dikirim langsung dari Jakarta oleh pihak kementrian, dan kami bertugas disini untuk mensurvei listrik saja. Dan ini hanya survei awal, untuk pembangunan listriknya nanti akan ada tim lagi yang datang" tuturnya dengan bahasa Indonesia yang baku.

Mas Adi memberi pemaparan.

Dengan sigap Kakak Yan memotong dan menjelaskan sekali lagi dengan bahasa Indonesia dengan dialek Papua. Tujuannya agar tidak panjang forumnya, seperti forum anak kuliahan. Beliau juga menjelaskan agar kami diberikan kesempatan langsung untuk tagging rumah, agar nanti malam kami bisa langsung wawancara dan pulang esok paginya karena besok adalah hari minggu dimana warga akan beribadah. Kami tak ingin mengganggu kegiatan agama warga.

Penjelasan dari Kakak Yan.

Topografi Favenumbu beda dengan Monggoafi, dimana Favenumbu lebih berkontur dan Monggoafi seperti Wae Rebo. Rumah di Favenumbu relatif lebih tersebar dan berada di lereng dan punggungan bukit. Sehingga, butuh tenaga ekstra untuk melakukan tagging.


Topografi Favenumbu

Malam tiba, dengan keadaan penerangan lampu flash dan senter, kami memberikan beberapa mie instan dan beras pada mama agar dimasak dan dimakan bersama warga yang ada saat itu. Wawancara dimulai, Mbak Sus dan Mas Adi berubah menjadi pusat perhatian. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab oleh Pak Andreas, dibantu juga oleh Pak Sekretaris (yang ternyata HP nya adalah iphone 6). Wawancara berlangsung dengan singkat, kami semua makan mie, singkong, dan nasi dengan damai.

Akhir wawacara Pak Andreas.
 Setelah wawancara, saya berbincang-bincang dengan Om Jefri dibawah sinar bintang-bintang. Satu fakta yang saya dapat, ternyata beliau mantan supir Celsius Watae, Alm. Bupati Keerom.





Comments

Popular posts from this blog

CATATAN PERJALANAN GN SINDORO 3153 MDPL VIA KLEDUNG

Labuan Bajo

Catatan perjalanan: Kasepuhan Ciptagelar dan Beras Berusia Puluhan Tahun