CATATAN PERJALANAN: BELITUNG NEGERI LASKAR PELANGI + BUDGET


siapa sih yang gatau tentang Pulau Belitung? Negeri Laskar Pelangi sekaligus tempat kelahiran mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama a.k.a Ahok yang terjerat kasus Penistaan Agama. Kali ini saya akan mengulas apa saja yang bisa dilakukan di pulau ini selama liburan. Untuk fakta tambahan dapat di cek di http://kilikili-adventure.com/intermezzo/story/10-informasi-mengenai-pulau-belitung-yang-wajib-anda-tahu 

ps: bagian budgeting ada di akhir artikel


SJTF

Perjalanan ini bermula ketika saya mengikuti event SJTF (Sriwijaya Travel Fair) di ICE BSD. Pada acara itu terdapat banyak tiket promo ke berbagai destinasi menarik di Indonesia. Diantaranya adalah Sorong (Raja Ampat), Labuan Bajo (Komodo), Bali, Belitung, Jogjakarta, Banyuwangi, Padang, dan saya lupa sisanya. Saya mengincar tiket ke Labuan Bajo, namun karena saya datang di hari kedua harapan tersebut sirna. Mungkin saya lebih berharap ke Sorong atau Bali. Setelah empat jam lebih mengantri di hari kedua, saya dihadapkan kepada keputusan berat. Memilih Sorong atau Belitung, karena ternyata tiket ke Bali sudah habis. Tanggal-tanggal akhir tahun sudah sold out, sisa tanggal sekitar Oktober dan Februari. Pilihan jatuh pada Belitung 13-15 Februari 2019 dengan harga Rp. 600.000 pp/orang, karena entah kenapa perasaan saya tidak nyaman ketika hendak memilih Sorong walaupun harga pp nya Rp. 1.600.000

Reservasi

Beberapa hal perlu dipersiapkan sebelum tiba di destinasi. Dua hal yang paling utama adalah akomodasi dan trasnportasi. Untuk akomodasi, sebenarnya banyak hotel/hostel dengan range harga Rp. 100.000 – Rp. 150.000/malam dengan fasilitas standar (double bed, WC, lemari, hot water, AC, TV, dan sarapan). Saya pribadi menginap di hotel Mustika, Tanjung Pandan dengan harga Rp.135.000. Untuk transportasi, Belitung dikenal dengan minimnya transportasi umum sehingga traveler punya dua pilihan, sewa mobil atau motor. Karena belum bisa mengendarai mobil maka saya pilih motor dengan cost Rp. 70.000/hari. Jika ingin motor diantar ke bandara maka akan ada tambahan harga sebesar Rp. 30.000, begitu juga sebaliknya juga dengan harga yang sama.


Departure

13 Februari 2019

Saya tiba di Bandara Internasional Soekarno – Hatta, langsung check in dan menunggu di Boarding room. Saya hanya bisa memandangi earplug dan nose plug yang saya beli malam sebelumnya. Hal ini karena seminggu sebelumnya saya terkena radang telinga luar atau Otitis Eksternal. Liang telinga kiri saya bengkak, pendengaran berkurang, kadang terasa nyeri, bahkan keluar cairan dan sedikit darah. Saya khawatir dan sedih dengan keadaan ini. Pasalnya, snorkeling adalah hal yang sangat terlarang bagi bagi pengidap infeksi telinga. Earplug yang saya beli bukan akan digunakan untuk snorkeling, melainkan untuk melindungi gendang telinga dari tekanan udara yang berubah secara tiba-tiba saat take off dan landing.

Setelah kurang lebih satu jam mengudara, pukul 9 pagi kami landing di Bandara internasional Hanandjoedin, Tanjung Pandan. Bandara yang luasnya kurang lebih sama dengan Bandara Husein Sastradinata ini menjadi terminal pesawat domestik, Singapura, dan China.

Belum lama berada diluar bandara, saya ditelepon oleh Mas Agus, yang menyewakan motor. Beliau langsung mengantar saya ke parkiran menuju motor, menyerahkan kunci dan stnk. Untuk DP sewa motor Rp. 100.000 saya sudah bayar ke temannya, tinggal membayar sisa Rp. 170.000 ke beliau. Beliau memberi tips: jangan mengisi bensin di pom bensin karena spbu selalu tutup, lantaran bensin selalu diborong oleh pengecer. Keluar bandara kami langsung isi bensin di pinggir jalan. Premium dijual eceran seharga Rp. 8.000/liter.

Karena masih pukul 10 kami drop barang dulu di Hotel Mustika karena check in baru bisa dilakukan pukul 12. Alhasil kami hanya membawa kamera, gopro, tiga bungkus nori, satu botol snack gingseng, dan roti sisa pesawat. Kebiasaan dari survei di papua membuat saya selalu ingin menjelajah daerah yang lebih jauh dahulu, yakni Belitung Timur yang beribukota Manggar. Perlu waktu 90 menit kesana dari Tanjung Pandan. Perjalanan dimulai!!!

Belitung atau seringkali tulisannya menjadi Belitong, adalah wilayah yang cukup sepi bagi saya. Tidak banyak orang yang kami temui di sepanjang perjalanan dari Tanjung Pandang – Manggar, baik di kota ataupun pinggir jalan. Mungkin karena warganya sedikit, jadinya kendaraan juga sedikit. Sedikitnya kendaraan berimplikasi pada jalan aspal yang relatif baik kondisinya dibanding jalanan di Jawa. Beberapa lahan di Pulau Laskar pelangi ini dihuni oleh tanaman sawit, namun tidak seberapa banyak. Menurut pengamatan saya, kebanyakan lahan adalah ladang kosong, alang-alang, tambang, telaga, dan hutan. Jangan lupa siapkan krim tabir surya terutama jika mengendarai motor karena cuaca cukup panas.

Main Course

Setelah sejam lebih bergulat dengan aspal dan belokan jalan, tibalah kami di Museum Kata Andrea Hirata, museum kata pertama di Indonesia. Andrea adalah penulis asal Gantong, Belitung Timur, yang sudah berkiprah di dunia internasional lantaran novel andalannya, Laskar Pelangi. Untuk masuk pengunjung dikenai biaya retribusi Rp. 50.000/orang dan mendapatkan buku Laskar Pelangi. Di museum ini terdapat banyak poster dengan kata-kata, gambar, beberapa poster Laskar Pelangi yang bahasanya sudah diterjemahkan ke berbagai Bahasa, perpustakaan, lukisan, dan replika sekolah Laskar Pelangi. Ketika memasuki replika sekolah, saya langsung teringat dengan SD reyot di Kampung Favenumbu, Kab. Keerom, Papua, apakah gurunya sudah kembali? Apakah anak-anak itu sudah belajar kembali? Nampaknya baik di Barat atau Timur, kualitas sarana pendidikan Indonesia masih belum merata.


replika sd laskar pelangi


Roda skuter beat biru kembali berputar. Kali ini kami melancong ke pantai yang namanya dijadikan lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa, Pantai Nyiur Melambai. Didepan pintu masuk terdapat lapangan luas dengan warung-warung yang tutup dan sepi. Saya kagum dengan pantai ini karena pasirnya putih dan halus, serta hampir tidak ada sampah di pantainya. Di bagian selatan pantai terdapat hutan pinus, beberapa wahana bermain dan alat fitness, dan beberapa rumah kecil yang nampaknya adalah hostel pinggir laut. Di lepas pantai terhampar laut dangkal yang diseberangnya terdapat pulau-pulau. Laut yang dangkal membuat pantai ini memiliki banyak pulau pasir atau lebih dikenal dengan gosong pasir.




Beat kembali digeber, namun dia butuh asupan. Rupanya BBM di Belitung Timur lebih mahal Rp. 1.000 ketimbang di Barat.

Tidak sampai 30 menit kami tiba di Pantai Burong Mandi. Tapi tidak ada burung disini (?). Pasirnya juga putih, namun terdapat beberapa batu besar di pojok-pojok pantai. Tempat ini lebih ramai dari pantai sebelumnya karena banyak nelayan dan banyak kapal-kapal kecil dipinggir pantai. Di bibir pantai bagian selatan terdapat dermaga yang bisa digunakan sebagai spot foto. Kami sempat melihat adanya batu photogenic di google review tempat ini. Dari selatan sampai utara kami susuri pantai ini, nihil yang kami dapat.


10 menit naik motor dari Pantai Burong Mandi kami menjumpai Klenteng Dewi Kwan Im. Jika diperhatikan dengan seksama, di Belitung Timur memang ada banyak Kuil. Berdasarkan warga lokal, hal ini dikarenakan kentalnya budaya tiong hoa di Belitung Timur yang merupakan sentra penambangan timah pada zaman kolonial. Beliau bercerita bahwa zaman Belanda orang-orang china dibawa dari negerinya ke Belitung lalu dipekerjakan di tambang timah, dan banyak dari mereka yang mendirikan klenteng.

Kami hendak menuju Danau Mempayak. Tapi mata kami terperana dengan papan penunjuk jalan bertulisan “Pantai Bukit Batu”. Kami ikuti jalan yang ada di gmaps. Sampailah kami di depan pagar yang dibuka namun jalannya dipalang. Kata hati sempat ragu karena palang diidentikan dengan perintah dilarang masuk. Lalu ada warga yang kebetulan membawa kendaraan bermotor masuk melewati celah kecil disamping palang. Baru kali ini di Belitung kami melewati jalan aspal ditengah hutan rimbun yang dipinggir jalan banyak kera yang sedang nongkrong. Jalanan aspal berakhir, namun saya terobsesi untuk melihat pantainya. Ternyata pantainya tidak beda jauh dengan Pantai Burung Mandi, hanya saja lebih teduh karena banyak pohon rindang di tepi pantai. Dibagian selatan pantai terdapat rumah besar. Dengan keterangan-keterangan yang ada kami menyimpulkan bahwa tempat ini adalah pantai private.


Selanjutnya adalah Danau Mempayak. Namun aneh tapi nyata, kami sudah tiba di lokasi sesuai gmaps, tapi tidak terlihat danau yang dimaksud. Apakah danaunya kering? Ataukah petanya salah? walaupun danaunya cukup besar, tapi tidak ada satupun tubuh air yang terlihat disekitar lokasi. Kami yang kecewa enyah dari tempat.

30 menit kemudian kami sampai di tambang timah Kelapa Kampit, atau warga menyebutnya dengan nama open pit. Jika ingin sampai ke open pit pengunjung harus menggunakan motor trail, atau bisa jalan kaki. Karena kami pakai motor matic, kami parkir motornya ditengah hutan, kunci stang, kunci slot motornya, dan lanjut jalan. Langkah demi langkah berlalu. Hati menguatkan pikiran bahwa tanjakkan ini bukanlah apa-apa dibandingkan gunung-gunung yang sudah saya daki. Tidak sadar, kami sudah sampai di open pit. Sejenak sambil menikmati pemadangan di ketinggian sambil menyaksikan beberapa rombongan motor trail lewat, kami mengistirahatkan raga dan memanjakan jiwa.




Kembali ke beat biru, saya mencoba membuka kunci slot magnet. Slot tidak mau terbuka. Saya coba berulang-ulang, peluh dan geram yang didulang. Saya pukul slotnya dengan batu, batunya hancur. Saya coba hubungi Mas Agus, dia mengatakan bahwa dia lupa memberi tahu saya tentang slot motor keluaran honda itu. Singkat cerita ternyata kunci itu sudah kehilangan dua magnet sehingga menyisakan dua magnet, untuk membuka kunci slot kita membutuhkan minimal tiga magnet. Itu yang saya lihat di youtube.

Matahari mulai mendekat ke horizon. Kami yang kehabisan akal berjalan ke bengkel terdekat. Untungnya, bengkel terdekat hanya berjarak kurang dari 1 km. Saya menemui mekanik bengkelnya dan meminta tolong. Beliau bernama Mada, biasa dipanggil Bang Mada. Beliau menyanggupi dan dengan membawa kunci cadangan motornya, yang kebetulan adalah beat, kami kembali menuju hutan. Beliau coba buka dan gagal. Akhirnya beliau kembali ke bengkel dan mengambil obeng dan perkakas lainnya. Hari ini nampaknya kita akan unboxing beat. Spakboard bagian tengah dan bodi bagian lampu depan dibuka habis. Sehingga, baut yang mengunci slot kunci magnetik dapat dibuka dari sisi lampu depan, slotnya pun bisa dilepas dengan mudah dan motor dapat dinyalakan kembali.

Setelah sampai dibengkelnya saya berniat pamit dan memberi upah. Namun, beliau tidak mau. Tiga kali saya memaksa dan tiga kali juga beliau menolak. Sampai saya bilang

“yasudah kalau begitu, semoga rezeki abang tambah lancar”

“aamiin” jawab pria paruh baya itu dengan senyuman.

Kami pamit. Beberapa saat kemudian telepon berdering. Rupanya Mas Agus bilang

“Gimana mas ketemu bengkel ga? Nanti sewa motornya dipotong aja sama upah bengkelnya”

Jika saya orang jahat, saya bisa saja bilang montirnya minta uang, lagipula salah Mas Agus juga kami terjebak disini dan tidak dapat menyaksikan sunset di Tanjung Pendam. Tapi, hal itu akan menodai kebaikan dari Bang Mada, jadi saya jawab

“udah, orang bengkelnya ga minta duit kok”

Pukul 7.30 malam kami sampai di sekitar pusat kota, tepatnya di kedai Mie Atep. Kedai ini sangat terkenal. Di dinding-dindingnya terdapat foto-foto pemilik kedai dengan beberapa orang, mulai turis asing, presenter (Andi F. Noya), pelawak (Tukul dan Gogon), pembawa acara kuliner (Bondan Maknyoss), sampai mantan presiden (Megawati Soekarno Putri). Dua porsi Mie Atep dengan air es dan es teh manis dibanderol dengan harga Rp. 46.000.



Jujur awalnya saya menganggap remeh Belitung. Terbesit di benak “ngapain ya ke Belitung? kayanya satu hari keliling objeknya langsung habis”. Ternyata tidak. Masih ada unexplored Belitung Selatan.

14 Februari 2019

Bangun terlalu siang, kami memanfaatkan fasilitas sarapan pagi yang diberikan hotel untuk menghemat kantong (baca: mi goreng). Kala itu kami hanya memprioritaskan dua destinasi, Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Awalnya kami juga menempatkan Tanjung Pendam sebagai tempat sunset, namun ternyata Tanjung Tinggi lebih indah.

Tanjung Kelayang merupakan merupakan pantai yang berada persis di Barat laut Belitung. Pantai ini menjadi spot island hoppingnya Belitung. Butuh perjalanan 45 menit dari Tanjung Pandan ke Tanjung Kelayang. Tempatnya juga luas. Ada aula luas dan ada panggungnya. Ada ampiateater kecil. Ada tulisan yang Instagram-able dan kapal yang photogenic. Terlepas dari semua spot foto tersebut, tujuan utama kami adalah island hopping. Namun, suasana sangat sepi ketika kami datang. Kami hanya berdua dan sewa kapal Rp. 400.000/kapal terasa cukup berat untuk dua orang. Saat itu, hanya ada beberapa penjual cinderamata keliling, petugas kebersihan, dan guide island hopping.

photo dengan Aak (baju abu-biru)

Awalnya saya berniat tunggu saja sekitar sejam sambil jalan-jalan di pantai, berharap ada yang mau bergabung dengan kami dan sharecost nya akan turun. Beberapa pengunjung lain akhirnya datang. Saya mencoba mendekati mereka. Ternyata mereka sudah ikut paket wisata rombongan 60 orang. Matahari mulai naik ke zenit, kami bertemu pasutri yang ternyata juga mencari rekan island hopping. Kami sepakat dan mengajukan harga Rp. 400.000/kapal untuk empat orang dengan destinasi Pulau Batu Garuda, Pulau Kelayang, dan Pulau Lengkuas. Di daftar yang saya buat ada satu pulau lagi yang tak ditawarkan, yakni Pulau Kepayang, saya pun bertanya

“Kenapa ga ke Pulau Kepayang juga pak?”

“Saya kasih tau bang. Kepayang itu adalah resort mahal, jadi kalo kita masuk kesana harus bayar sekitar Rp. 100.000, dapat makan dan minum, lalu cuma main dipasir. Dibelakang resortnya hutan semua” ungkap si bapak

(Sebenarnya ada satu lagi yakni Pulau Babi, saya lupa menanyakan tempat ini…..)

Aak, pemuda yang memandu kami sepakat, dengan syarat kami harus menyewa pelampung Rp. 20.000/orang. Pelampung adalah kewajiban agar kecelakaan seperti di Danau Toba dapat diantisipasi.

Destinasi pertama adalah Pulau Batu Garuda, terlihat jelas dari Tanjung Kelayang. Dinamakan Batu Garuda karena terdapat sebuah batu yang bentukannya mirip kepala burung. Pulau yang berupa susunan batuan granit masif ini tidak dapat dilabuhi. Sehingga kami hanya bisa berfoto dari atas perahu.


Destinasi kedua adalah Pulau Kelayang yang terletak persis disamping Pulau Batu Garuda. Pulau ini memiliki spot foto berupa gua-gua dan kolam yang ciamik. Beda dengan gua karst yang terjadi karena hasil pelarutan, gua di pulau ini terjadi karena monolit-monolit granit yang berkumpul sehingga terdapat celah-celah diantara mereka. Celah ini lah yang orang lokal sebut sebagai gua. Zaman dulu, banyak ditemukan burung walet di gua ini, dalam Bahasa lokal walet = kelayang, itulah asal-muasal nama pulau tersebut. Kami menemukan ada yang camping di pulau ini, nampaknya para pembaca bisa mencobanya.


Kami meminta pendapat pasutri tentang perbandingan pantai Bangka dan Belitung karena kebetulan mereka adalah orang Bangka. Mereka bilang Pantai Belitung lebih baik, karena pasirnya putih dan belum ada penambangan timah di tengah laut. Lain halnya dengan Pantai Bangka, disana terdapat penambangan timah di lepas laut, sehingga lautnya menjadi keruh. Menurut pengakuan si istri, seminggu kebelakang Bangka selalu dilanda hujan deras dan terkena banjir. Sedangkan di Belitung juga sedang sering hujan tapi tidak pernah banjir. Apakah faktor pemukim yang sepi menyebabkan minimnya deforestasi di Belitung yang menyebabkan tak pernah terjadinya banjir?

Destinasi terakhir adalah Pulau Lengkuas yang terkenal dengan mercusuarnya yang sudah berusia ratusan tahun. Sebenarnya pengunjung bisa naik ke mercusuar, namun hanya sampai lantai 3. Perlu perjalanan sekitar 15 – 20 menit dari Pulau Kelayang menuju kemari. Pulau ini relatif lebih ramai dibanding Pulau Kelayang karena ada beberapa rumah penduduk. Saya rasa disinilah susunan batuan granit paling indah. Bagaimana tidak? Kami menghabiskan waktu selama lebih dari satu jam dengan berfoto dalam radius 10 meter di susunan batuan tersebut. Bahkan ada yang sedang photoshoot untuk gaun dan ada yang photoshoot untuk produk pashmina(?) di celah-celah batuan.



Sebenarnya disekitar pulau ini terdapat spot snorkeling, namun karena saya sedang infeksi telinga, saya urungkan niat. Setelah lelah berfoto, Aak pun datang mengisyaratkan bahwa kami harus kembali karena pasutri yang kami bawa ingin segera kembali ke Tanjung Kelayang. Mereka bilang ingin ke Manggar. Inilah beratnya gabung dengan rombongan lain, terdapat kepentingan berbeda. Yang satu sudah lelah menunggu dan yang satu masih mau foto-foto. Saya sarankan jika ingin island hopping bawalah rombongan sendiri minimal lima orang agar sharecost perahunya tidak terlalu mahal dan tidak ada perbedaan kepentingan. 


Setelah kembali ke Tanjung Kelayang, pasutri pamit dan Aak minta username akun Instagram kami untuk di follow. Dia adalah tour guide yang sangat baik dan ramah, rela menjamah tempat sulit demi kepuasan foto pengunjung, dan paham dengan sejarah-sejarah Belitung. Bahkan dia hendak mengantar kami dan menunjukkan spot-spot foto di Tanjung Tinggi. Namun kami menolak karena jam masih menunjukkan pukul 3 sore. Selain itu, kami minta rekomendasi beliau untuk makanan khas Belitung, dan dia menyarankan untuk makan Gangan.

Aak juga menyarankan jika ingin menikmati keramaian di Belitung, maka datanglah pada tanggal 10 Oktober. Setiap tahun pada tanggal itu akan ada upacara laut dimana nelayan mengantar persembahan pada laut. Otomatis semua kegiatan island hopping hari itu akan ditiadakan, tetapi siapapun yang ada di Tanjung Kelayang pada saat itu bisa makan secara gratis! karena ibaratnya 10 Oktober adalah hari syukuran bagi masyarakat lokal. Selain itu, syukuran itu juga bertepatan dengan event sailing. Jadi, para turis asing pensiunan yang sedang berlayar keliling dunia sempat singgah di Belitung

Setelah puas beristirahat di Tanjung Kelayang kami bergeser ke Tanjung Tinggi yang hanya berjarak 10 menit. Disana kami menghabiskan waktu sambil melihat anak-anak bermain bola, menyaksikan turis asing yang berkunjung, memperhatikan shooting pre-wedding, sampai memberi makan rombongan semut hitam dengan ciki (?) semua dilakukan untuk menghabiskan waktu menunggu sunset.

Kami bergerak ke arah timur pantai, terdapat kelompok batuan granit yang ukurannya lebih besar ketimbang batuan di Pulau Lengkuas. Banyak celah-celah antar batu yang dapat dijadikan spot camping. Dasar! Tumpukan batu photogenic.


Hujan turun, kami berteduh sebentar dibawah tenda pedagang thai tea sambil menghabiskan waktu. Setelah pukul 17.45 barulah kami berjalan ke bebatuan di barat pantai. Sayangnya, awan cumulonimbus menghadang barat di sore itu, sehingga menutupi sang fajar. Untuk memastikan matahari sudah tenggelam bahkan saya menginstall apps sky map untuk mengetahui keberadaan matahari. Ternyata fajar sudah berada dibawah horison. Sayang seribu sayang, padahal kemarin sunset masih terlihat indah walaupun dalam perjalanan Kelapa Kampit – Tanjung Pandan.

Kami duduk diatas batu di bagian barat pantai, menyaksikan sang fajar yang ditutupi oleh awan adanya. Lalu sembari menghabiskan waktu, kami mengabadikan momen dengan mode timelapse

Hujan dijalan tidak menyurutkan niat kami untuk kembali ke kota untuk mencoba makanan khas Belitung. Makanan ini bernama Gangan. Terdapat dua jenis Gangan: Gangan Laut dan Gangan Darat. Bedanya adalah Gangan Laut merupakan ikan kuah kuning dengan rempah dan potongan nanas. Sedangkan Gangan Darat sama seperti Gangan Laut, namun ganti ikannya dengan daging sapi. Makanan ini sangat recommended! Enak! Kuahnya membuat tubuh yang basah kehujanan menjadi hangat karena adanya rempah – rempah. Yang ada di benak saya

“wah Gangan ada nanasnya? Pasti kuahnya asam karena ada nanas”

Ternyata tidak bung! Kuahnya gurih dengan sedikit sentuhan asam, bahkan nanasnya berasa seperti kentang.


15 Februari 2019

Rencana kami untuk ke Bukit Kubing gagal lantaran kesiangan. Butuh 2 jam untuk mencapai tempat ini dari kota dengan akses non jalan aspal. Alhasil, kami pergi ke Belitung Mangrove Park, 30 menit dari kota. Tapi sebelum itu, kami tidak ingin melewatkan suto legendaris di Kedai Mak Jannah yang ada di pusat kota, tidak jauh dari Kedai Mie Atep. Suto sendiri di Belitung di lafalkan "soto", namun bentuk dan rasanya sangat mirip dengan lontong kari. Makanan ini terdiri dari lontong, bihun, emping, irisan kentang, irisan daging sapi, dan kuah kari. Untuk teh manis dan suto dibanderol dengan harga kurang dari Rp. 20.000


gambar dari https://travelingyuk.com/kedai-mak-jannah/116279/



Sampainya kami di depan Taman, suasananya sangat sepi. Ada satu warung dengan seorang ibu. Namun, dia tidak berinteraksi dengan kami dan tidak menagih uang tiket masuk. Demikian, kami main masuk saja ke dalam taman. Rasanya seperti zombie apocalypse, banyak sekali wahana permainan, tapi tak ada orang. Kami berjalan ke tepi pantai, lautnya keruh, sepi, dan langitnya mendung. Sehingga kami tidak betah berada di tempat tersebut lama-lama karena suasana makin mencekam bak film horror. Kami pulang melalui jalur yang berbeda dengan jalur masuk. Terdapat sebuah wahana kapal. Di dalamnya ada seorang warga dan anaknya, mungkin beliau adalah penjaga tempat tersebut. Kehadiran mereka membuat tempat tersebut menjadi tidak seram lagi. Syukurlah ada manusia lain di tempat ini.








Pulangnya kami dari tempat tersebut kami mampir ke mie ayam Bangka. Ternyata mie ayam Bangka tidak se mainstream mie ayam di Jakarta. Mie ayam Bangka disajikan dengan piring (yap, bukan mangkok) berisi mie, potongan daging ayam, irisan timun, toge, dan pangsit dengan kuah kaldu. Bukan kuah mie ayam mainstream yang bumbunya adalah kecap asin dan msg. Tidak lupa saya pesan mie koba yang terdiri dari mie, toge, daun bawang, telur rebus, dan kuah dengan rempah yang kuat. mie ayam bangka + mie koba + es jeruk + teh tawar seharga kurang lebih Rp. 45.000





sayangnya hujan mengguyur Belitong hingga sore hari. Kami harus mengurungkan niat unuk menjajah destinasi kedua hari ini: Danau Kaolin. Tanpa adanya pencahayaan yang baik dari matahari, danau kaolin tidak akan terlihat menarik. Daripada menuju ke Danau, lebih baik kami berangkat ke Bandara.


Terima kasih pada shofagi raniyah karena semua foto diatas berasal dari jepretan beliau. yuk follow ig nya sis @agiueo

BUDGET

0. tiket pp jkt-blt Rp. 600.000
1. hotel Rp. 270.000 dua malam
2. motor Rp. 210.000/ 3 hari
3. antar-jemput motor ke bandara Rp. 60.000
4. sewa kapal island hopping Rp. 400.000/kapal
5. sewa pelampung (wajib) Rp. 20.000/orang












Comments

  1. Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
    dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
    WA : +855964283802 || LINE : +855964283802

    ReplyDelete
  2. Pengalaman yg seru, jadi kepingin explore Belitung. Sukses terus bang!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

CATATAN PERJALANAN GN SINDORO 3153 MDPL VIA KLEDUNG

Labuan Bajo

Catatan perjalanan: Kasepuhan Ciptagelar dan Beras Berusia Puluhan Tahun