DIARY BURUH HARIAN: TIGA BULAN DI TANAH ANGKOLA PT 2
Pagi
hari tanggal 10 resmi sudah kami mulai menggarap Blok Siuhom. Suara heli
terdengar dari kejauhan yang mengangkut Pop dan Jump. Kerja dimulai, Pop kearah
line utara, Jump ke line tengah, gue ke selatan, sedangkan
Fawwaz mengajari Pak Ivan mengoperasikan transmitter
di camp.
Receiver:instrumen yang digunakan untuk menangkap sinyal listrik dalam tanah |
Di
perjalanan gue menuju tujuan, kami diteriaki oleh seorang opung (kakek).
Awalnya kami cuek saja, namun kru gue, Pak Pasaribu, mengisyaratkan untuk
berhenti. Nampaknya si opung sudah naik pitam. Pak Pasaribu dan opung ngobrol
dalam bahasa batak, sehingga gue ga ngerti sama-sekali. Ternyata, si opung
kemarin tidak ikut penyuluhan yang diberikan Pak Eko di dusun-dusun. Beliau
kira kami hendak menggali emas langsung. Bahkan si opung sempat mengancam akan
mengadukan kami ke keponakannya yang pengacara taraf internasional(?). Baru
hari pertama udah ada-ada aja masalahnya.
Pemandangan di camp jika cerah+ Pak Eko |
BTW kami datang di musim yang tepat. Musim
durian. Di sini tanaman pokoknya adalah salak, jadi mereka ga punya kebun
durian. Ga ada juga yang jual durian. Sehingga banyak buah durian jatuh. Sampai
busuk itu durian di tanah saking bosannya warga sekitar mengambil durian, udah
kaya ga ada harganya. Padahal kalau dibikin kebunnya mungkin lebih
menguntungkan daripada salak. Salak dipilih karena dulu pada zaman orba, harga
karet sedang jatuh-jatuhnya. Sedangkan harga salak melambung tinggi. Kru gue
mengaku dulu petani salak di Tapanuli Selatan itu pasti mapan semua. Bagaimana tidak?
Seminggu bisa beli 2 ameh (ameh adalah satuan berat emas disini, 1 ameh = 2.5
gram. Bagi yang orang minang, emas = ameh). Saking makmurnya petani salak,
mereka ga mau memikul salak. Mereka beli kuda untuk mengangkut salak. “Dulu zaman
orba kuda kami banyak, tiap keluarga bisa punya 2 kuda. Sekarang, paling satu
dusun yang punya kuda hanya satu keluarga, itupun kudanya hanya satu.”
Ganteng banget kamera gue, Fawwaz in frame |
Hari
pertama berjalan kurang lancar. Selain karena kru yang belom paham tata cara troubleshooting, kualitas radio yang
kami gunakan sangat buruk. Baru dipakai 3 jam sudah mati. Oleh karena itu, gue
sendiri yang harus turun langsung untuk troubleshooting.
Hari
kedua masih troubleshooting, tapi
sekarang Fawwaz sama gue. Tapi lagi-lagi karena kualitas radio yang buruk,
baterainya cepat low, Fawwaz harus
mendatangi gue dan memperbaiki masalahnya sama-sama. Medannya sangat buruk. Terjal
dan licin adalah hal yang umum, tapi medan ini buruk karena semua pohon adalah
salak. Bagi teman-teman yang ga tau pohon salak seperti apa, batanya penuh
duri. Jadi tidak ada pegangan kami untuk turun naik. Karena kalau dipegang
pasti tertusuk. Maju kena mundur kena. Gue sempat beberapa kali terpeleset dan
jatuh, baju dan celana kotor. Fawwaz bilang
“Ini
adalah medan terdahsyat yang pernah gue lalui”
Padahal
dia pecinta alam.. Sempat terpikir sejenak oleh gue
“Duh,
nyari duit emang sesusah ini ya..”
Hari
demi hari berlalu, sudah 20 hari kami lewati. Kini saatnya pergantian kru. Pada
saat pergantian kru, idealnya kru shift 1
bekerja setengah hari, sampai kira-kira jam 1. Baru ketika jam 2 shift 2 datang. Namun, hal ini tidak
terjadi dan kami stand by sehari karenanya.
Males ga sih dekat-dekat pohon salak.. |
Baru saja hari pertama kerja.
Ternyata kabel remote sudah putus.
Kabel remote ini adalah kabel serabut
tembaga dengan luas penampang 2 mm2 dan panjangnya kira-kira 4 km
(jika tidak mempertimbangkan topografi). Setiap pagi operator transmitter akan mengecek koneksi kabel
remote dengan multimeter. Saat itu kebetulan gue operatornya. Tidak ada
koneksi. Kabel remote ini sangat vital bagi survey ini. Jika putus, maka survey
tidak bisa berlanjut. Akhirnya Bang Tapran, salah satu leader dan satu kawannya
berkorban untuk mengecek kabel remote.
Kabel penyebab putusnya kabel remote ada 2: karena terbakar lalu putus atau
karena diputus hewan/manusia. Terpaksa Bang Tapran menyusuri kabel tersebut.
Setelah dicek baik-baik tidak ada yang putus. Pada jam 3 sore, beliau sampai
lubang remote. Ternyata kabel sudah tercabut dari lubang, lubangnya pun dirusak
sampai tak karuan bentuknya. Entah hewan atau manusia yang melakukan perbuatan
ini. Hanya tuhan yang tahu. Dari jam 8 pagi Bang Tapran berangkat, jam 8 malam
beliau baru sampai camp. Bayangkan medannya sesulit apa.
Harta, tahta, wanita. Itulah yang biasanya ada di pikiran laki-laki normal. Untungnya semua laki-laki di camp normal. Biasanya, logistik diantar oleh porter pada hari sabtu dan selasa. Porter umumnya 80% wanita. Tiap sore itu pula baik kru, leader, asisten, tim inti, duduk berjajar di luar camp masing-masing. Cuci mata. Maklum namanya mata sulit dikontrol. Mau sudah beristri atau lajang sama saja. Tapi itu kan hanya 2 kali seminggu. Apa yang dialami Fawwaz, Pop, dan kru (tim rx3) adalah hal yang lebih baik.
Pada array 4 dan 5, center receiver Fawwaz kebetulan terletak persis 3 meter dari rumah warga Nias. Kalau kata kru-kru batak, gadis-gadis Nias itu cantik-cantik dibanding cewe batak (mohon jangan salah kaprah, gue ga bermaksud mesdiskreditkan suatu suku). Kulit mereka rata-rata putih, mata yang agak sipit. Tak heran warga batak memberi julukkan “cina dolok” yang artinya cina hutan. Dari sudut pandang orang batak angkola yang gue ajak ngobrol, stereotip orang Nias banyak negatifnya. Maklum, orang Nias kan pendatang, yang bisa berarti kompetitor(?). Wajar saja masyarakat lokal ada yang kurang menerima. Dulu gue pernah bertanya dengan seorang kakek Nias di Dolok Godang. Gue memposisikan diri gue sebagai orang non batak dan bertanya ke beliau,
“Kakek
kenapa merantau kemari dari Nias?”
“Soalnya
kalau di Nias, orang disana mau membunuh demi salak” ungkapnya
Banyak
tafsiran dari perkataan kakek ini. Apakah pulau Nias sudah padat, saking
segitunya berebut SDA? Atau memang kehidupan disana memang kejam?
Gue
juga pernah bertanya kepada kru gue yang berasal dari Huta Godang.
“Kenapa
sih orang Nias banyak yang tinggal di hutan? Kenapa jarang yang tinggal di desa?”
“Kalau
dulu di Hutan Godang (berarti di tempat lain beda cerita), pertamakali
orang-orang itu (Nias) berlabuh. Kepala desa kami bilang “kalian agama Masehi
(kristen), kalau ingin tinggal disini silahkan menjadi muslim. Jika tidak
silahkan tinggal di hutan” beberapa ada yang jadi muallaf, sebagian besar tetap
teguh dengan Masehi”
Di
rumah itu berisi 6 orang. Sepasang suami istri dan dua anak mereka, seorang
wanita paruh baya, dan gadis remaja bernama Liber. Liber ini lah yang menarik
perhatian tim rx3 dan tim lain yang lewat. Pasalnya wajahnya lucu, senyumnya
imut, dan sifatnya yang pemalu membuat orang-orang bewitched. Tak jarang tim yang selesai bekerja istirahat sejenak
didepan rumah itu. Mungkin mereka ingin cuci mata atau adu rayu ke Liber, yang
biasa disebut boru Harepa (warga sini lebih sering sebut marga ketimbang nama
depan, misalnya “si Manulang” atau kalau perempuan “si Boru manulang”,
kebetulan marga Liber adalah Harepa). Fawwaz dan Pop tak ingin kalah. Mereka
acapkali membawa mie instan, buah-buahan, dan makanan lainnya ke rumah itu demi
menarik perhatian Liber. Dan lama kelamaan Liber mulai nyaman berinteraksi
dengan mereka. Sesekali Pop terlihat menggoda Liber, meskipun gue ga paham
mereka berinteraksi bagaimana (menurut pengakuan Fawwaz yang berada di TKP).
Pop kan ga bisa bahasa Indo. Meski begitu Pop hebat, dia bisa dapat nomor hp
Liber. Tidak seperti Fawwaz yang culun, minta nomor hp aja harus lewat
perantara, nama beliau Pak Manalu (sumpah wajah beliau mirip Freddie Mercury,
dan hobinya nyanyi). Bahkan Fawwaz sempat diprank
oleh beliau, dia bilang ke Liber ketika ga ada Fawwaz,
“Liber,
si Fawwaz cinta mati sama kau!”
Sorenya,
gue ceritain kejadian itu ke Fawwaz. Dia panik. Kalau Liber beneran suka
gimana? Kalau dia beneran sampai pakai pelet gimana? Nanti kalau nikah Fawwaz
wajib kasih mahar 30++jt. Ketika matahari terbenam, muncul Pak Manalu
menghampiri Fawwaz dengan secarik kertas kecil. Baris pertama bertuliskan
aksara asing yang kami tidak bisa baca. Baris kedua berisi nomor hp.
“ini
nomor hp Liber, hehe” kekeh Pak Manalu.
Makin
menjadi paniknya. Bisa jadi itu pelet wkwk. Sementara itu Pop rutin tiap malam
SMSan dengan Liber menggunakan Google Translate..
Salah
satu aturan yang diterapkan untuk kru adalah tidak boleh keluar masuk camp
sembarangan sebelum shiftnya habis (1 shift = 20 hari). Jadi idealnya, kru ga
boleh pulang ke rumah meskipun rumahnya dekat. Mungkin peraturan ini dibuat
oleh gugus depan covid untuk menghindari pesebaran virus yang tak terkontrol. Hal
ini memberatkan beberapa kru, terutama masalah rokok. Ketika di array 7, seorang kru gue, Pak
Nainggolan, minta izin pamit mau pergi ke sungai Batang Salaih namanya. Katanya
sih jaraknya hanya 1 jam dari receiver kami,
posisi kami saat itu. Beliau mau jemput rokok yang diantar anaknya. Kebetulan
di tempat kami dapat sinyal telepon, jadi bisa janjian. Rokok sini jangan
disamakan dengan rokok kota seperti s****erna, um*ld, djar*m, g***ng g**am. Kebanyakan
Menara, Lukman, ada satu rokok yang ga ada band rollnya (rokok ilegal yang ga
kena cukai), dan tembakau lintingan. Cukup hemat loh pakai tembakau lintingan.
50 gram bisa buat 3 hari katanya, harganya hanya Rp. 7.000 (+Rp.1.000 untuk
kertas tembakau). Yasudah gue izinkan. Setengah jam setelah beliau pergi, Pak
Manalu bangun. Beliau bertanya ke gue,
“Mana
Pak Nainggolan?”
“Ke
Batang Salaih, jemput rokok yang diantar anaknya” jawab gue
“HAHAHA,
anaknya kan sedang sekolah, pasti yang antar istrinya itu. Di dekat Batang
Salaih itu ada pondok kosong, bisa jadi mereka wik wik di sana” lepas tawa Pak
Manalu
Hmm,
nampaknya rokok hanyalah alasan kedua...
Saudaranya Ma**boro |
Tak
disangka sudah pertengahan Oktober. Tapi, hujan yang kami alami sampai saat ini
belum bisa disebut hujan musim hujan. Hujannya hanya berkisar 1-2 jam. Meskipun
sebentar, tapi tetap menimbulkan masalah juga sih. Sekarang array 14. Jump dan Pak Ivan menikmati
posisi yang ada sinyal internet, sedangkan gue lagi-lagi di kebun salak. Tapi damai,
tidak seperti mereka yang dikerubungi warga. Nampaknya sosialisasi pada warga
kurang efektif karena warga masih belum paham dengan apa yang kami lakukan. Bahkan
seorng warga berkata ke Pak Ivan,
“Mas,
nanti kalo dapat emasnya dibagi ya ke saya”
“Bu,
kami disini ga ngambil emas, hanya ngambil data. Ini datanya berupa angka’
jelas Pak Ivan.
inilah data yang kami ambil: tegangan, hambatan jenis, dan chargeability |
Hari
pertama masih penggelaran kabel 3 line
sekaligus troubleshooting. Ketika jam
2 turunlah hujan deras yang tak ada jedanya sampai sore. Jam setengah empat
kami menyerah dan pulang. Itupun masalah di 3 line masih belum selesai. Sampai esok siang, hujan masih turun
dengan deras. Sehingga hari kedua kami libur total. Hari ketiga masih hujan
deras sampai sore. Libur lagi. Kenapa sih kalo hujan kerjanya libur, seperti
anak SD aja? Kalau hujan ga berangkat sekolah. Karena hujan deras sangat
mempengaruhi kualitas data, belum lagi ada potensi petir yang dapat merusak
instrument. Hari keempat disertai hujan yang tidak deras. Namun, hujan-hujan
kemarin menambah deretan masalah pada kabel. Yang tadinya hanya 2 masalah jadi
4 masalah. Pada akhirnya, semua masalah cleared
sekitar jam 3. Hari ini kami pulang cukup larut, sekitar jam setengah 6.
Mungkin Pop, si supervisor, dipress oleh
atasan karena 3 hari kemarin tidak mendapat hasil. Hujan pada malam sebelumnya
membuat kami menghabiskan hari kelima untuk lagi-lagi troubleshooting. Nihil lagi. Hari ke 6 hingga 9 berjalan lancar. Meskipun
data yang didapat sangat buruk. Jika kami sudah melakukan semua yang kami bisa
dan segala cara namun data yang didapat konsisten buruk. Maka kami simpulkan
itu adalah data sebenarnya. Array ini mungkin hantunya. Baru kali ini satu
array memakan waktu 9 hari, biasanya 3-5 hari beres. Sempat terpikir, kenapa
dapat proyeknya ketika musim hujan? Inilah suka-duka buruh harian. Dukanya, pekerjaan
bisa lama dan membosankan dikarenakan faktor eksternal. Sukanya, makin lama
pekerjaan , makin banyak uang yang masuk ke rekening kami. Ehe
musim hujan berarti akan banyak makhluk ini |
19
oktober kami pindah ke array 12. Tempat
ini adalah stasiun receiver terindah
di Blok Siuhom menurut gue. Posisinya ada di punggungan yang terbuka dan gue
bisa melihat pit purnama yang ada di
Tambang Martabe dari sini. Terdapat pula pondok kecil sehingga kru gue ga perlu
cari kayu untuk meja dan bangku operator receiver.
Papan pun sudah ada. Pokoknya enak deh. Kebun ini btw dimiliki oleh pria paruh baya bernama Pak Tobing. Beliau adalah
kru eksternal di shift 2. Sekarang sedang
shift 2 sedang off. Dari cerita Kang Supri, seorang asisten geologist, Pak Tobing sempat memasang pagar pembatas di sekitar kebunnya,
dan ada papan bertuliskan “dilarang meletakkan benda apapun tanpa izin pemilik
kebun”. Ini adalah cara yang pintar dan halus untuk mendapat pekerjaan. Sebagian
warga ada yang main potong kabel atau bahkan menghampiri kami sambil
marah-marah minta kerja/uang. Akhirnya, setelah negosiasi, Pak Tobing bisa
bekerja. Karena sedang libur, tiap hari Pak Tobing menghampiri receiver gue. Sebenarnya beliau baik dan
ramah. Tapi, sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berulang, mengganggu
dan suka menawarkan skema makelar tanah hal yang membuat risih. Misalnya begini
“Gimana
Pak Andre? Bagus isi tanahnya? Kalau bagus begini saja. Nanti saya kontak
pemilik kebun dan akan saya nego buat jual ke Pak Andre. Kalau bagus kan nanti
tanahnya akan dibeli lagi oleh tambang. Pasti Pak Andre bisa jual dengan harga
tinggi. Kan bapak paham. Nanti urusan komisi gampang lah itu” Tawarnya
Dan
beliau menawarkan hal demikian berulang-ulang ke gue, Fawwaz, dan Pak Ivan. Untung
aja Pop sama Jump ga bisa bahasa indo. Kalau bisa mungkin udah ditawarin
juga...
Setelah array 12, gue menjadi operator transmitter sampai Blok Siuhom selesai, artinya gue hanya menetap di camp. Tak hanya Liber yang mempesona Fawwaz, ada putri pendeta yang juga bikin dia gelagapan. Karena gue lupa namanya, kita sebut saja Mawar. Meskipun Liber lebih cantik, namun Mawar lebih agresif. Terbukti saat rombongan Fawwaz melewati rumahnya, dia langsung buka jendela dan menyapa Fawwaz. Nampaknya si Mawar mengamati suara rombongan, karena sesaat sebelum jendela dibuka, ada suara grasak-grusuk orang berlari diatas lantai papan. Ketika di warung pun bertemu Fawwaz, dia memakai make up. Sangat agresif ya, ke warung loh. Suatu ketika logistik datang, si Mawar memang langganan menjadi porter. Fawwaz menghampiri Mawar bak adegan film india. Eh, bukannya dia minta nomor hp, malah dia nulis nomor hpnya di tangan si Mawar. Ga banget deh...
Kiri-kanan: Jump, Pak Ivan, Pop, Fawwaz, dan gue |
Comments
Post a Comment