Catatan perjalanan: Kasepuhan Ciptagelar dan Beras Berusia Puluhan Tahun
16 Januari 2019
Menuju
Ciptagelar
Kira-kira beberapa hari
sebelumnya teman saya ketika Ekspedisi Nusantara Jaya 2017 ITB, Fadli, menchat
saya, dia mengajak ke Ciptagelar. Sambil memutar kembali memori, nama
Ciptagelar pernah dilisankan oleh Rafid ketika ENJ, dia bilang kampung tersebut
memiliki ketahanan pangan, stasiun TV sendiri, dan ketua adatnya masih muda.
Saya tertarik dan memutuskan ikut.
Perjalanan dimulai dari Ciputat
pukul 7.00 WIB, dengan menggunakan motor Beat pink kesayangan saya melancong ke
Pelabuhan Ratu, meeting point kami, karena mereka berangkat dari
Bandung. Pagi itu terasa agak lain. Pasalnya saya dapat melihat Gunung Salak dan
Gunung Gede dari jembatan layang Ciputat, padahal sebelumnya tidak pernah sama
sekali, 14 tahun saya tinggal disana. Bermodalkan gmaps, saya sampai di
Palabuhan Ratu, Sukabumi, dalam waktu 3.5 jam.
Disana saya bertemu dengan
Fadli, Rafid, Ute, dan satu teman baru, Fani. Kami beristirahat sejenak disana,
walaupun mereka berangkat dua jam lebih awal daripada saya, namun mereka hanya
sampai kira-kira 15 menit lebih awal. Kami makan siang di tepi pantai, yang
lain makan baso dan es kelapa, sedangkan saya makan dendeng yang saya bawa dari
rumah. Cuaca kala itu agak labil karena awalnya cerah berawan, lalu hujan, lalu
kembali cerah. Saya agak khawatir karena cuaca merupakan faktor penting ketika touring, apalagi ketika anda menggunakan
motor matic yang bannya sudah botak.
Dari kanan: Saya, Fadli, Ute, Fani, dan Rafid. loc. Pantai Palabuhan Ratu |
Fadli pun mulai mengumpulkan
informasi mengenai rute ke Ciptagelar, mulai dari tukang parkir sampai orang
random di alfamart dia tanyai. Secara ringkas, ada tiga jalur menuju
Ciptagelar, jalur A, B, dan C. jalur A merupakan jalur paling dekat namun paling
ekstrim dan biasa dilalui untuk motor cross.
Jalur B merupakan jalur mediocre
secara kemiringan tapi jaraknya lebih panjang dari jalur A, jalur ini melalui
Desa Sirnaresmi, daerah yang baru saja terkena longsor. jalur C merupakan jalur
paling landai namun paling panjang, jalur ini melalui Gunung Bongkok, jalannya
sudah aspal (katanya). Karena pertimbangan waktu dan motor (Fadli: Vario,
Rafid: CB) kami memilih jalur B.
Longsor Sirnaresmi |
Jalur B seperti jalur pada
umumnya, awalnya aspal bagus, aspal rusak dan mulai batuan yang disusun,
awalnya landai sampai Sirnaresmi, setelah itu jalan menjadi terjal dan naik
turun. Masalah bensin tidak perlu khawatir, karena sampai Cimapag masih ada
Pertamini. Namun, baru sampai Sirnaresmi, rem depan Rafid mulai kurang pakem.
Akhirnya Fani dioper ke saya. Awalnya dia cukup menderita karena jok motor
Rafid tidak ada besi pegangan di belakangnya, sehingga ukhti ini bingung
pegangan kemana. Namun penderitaan berganti nestapa ketika di bonceng saya. Apa
yang anda harapkan dari Beat berusia sembilan tahun? Hasilnya Fani harus turun
beberapa kali di tanjakan karena motor saya tidak kuat.
Kami istirahat setelah melewati
Cimapag, bau kopling motor rafid menandakan beratnya medan. Sepanjang
perjalanan kami mendapati kendaraan TNI dan polisi yang turun setelah
mengevakuasi korban longsor Sirnaresmi. Kami mulai memutar otak karena motor
kami sudah kelelahan. Sempat terpikir menitipkan motor dirumah warga dan naik
ojek ke Ciptagelar yang ternyata ada di puncak salah satu bukit di daerah Gunung
Halimun. Saya dan Fadli dengan masing-masing motor, melakukan checking medan yang ada di depan mata,
sekaligus melihat adakah rumah warga yang bisa dititipkan motor. Ternyata
hasilnya nihil, medan semakin berat karena 100% terdiri dari batu-batu yang
disusun, sedangkan tidak ditemukan rumah warga.
Hasilnya? Kami kembali ke
Cimapag, dan menitipkan motor disana. Kami naik ojek kesana melalui Cifulus dan
Cicemet melewati medan yang memang tidak akan mampu motor matic kami lewati. Tapi harga yang kami bayarkan cukup mahal, Rp
100.000 per orang, walaupun untuk mencapai Kasepuhan Ciptagelar membutuhkan
waktu 50 menit dengan motor.
Tips: jika melewati jalur A atau
B, pakailah motor bebek/kopling yang baru dan kuat.
Kasepuhan
Ciptagelar
Tibalah kami di Kasepuhan Banten Kidul Ciptagelar. Dinamakan Banten Kidul karena kebanyakan pengikut Abah berada di Banten Selatan (Sukabumi, Bogor, dan Lebak).
Tibalah kami di Kasepuhan Banten Kidul Ciptagelar. Dinamakan Banten Kidul karena kebanyakan pengikut Abah berada di Banten Selatan (Sukabumi, Bogor, dan Lebak).
Kami diantarkan ke depan imah
gede (Sunda: rumah besar), rumah yang biasa diinapi pengunjung. Terlihat banyak
sekali tempelan stiker pada jendela rumah, kebetulan juga ada puluhan tas
gunung di teras, ternyata sedang ada ospek mapala dari IPB, (katanya) mereka
jalan dua hari dari Pelabuhan Ratu. Kami disambut oleh Ki Jarna, seorang
rorokan bidang kesenian. Jadi di Ciptagelar selain abah (ketua adat) terdapat
pula rorokan. Jika abah adalah presiden, makan rorokan adalah mentri. Selain
rorokan terdapat juga baris kolot (sunda: pasukan tua) yang merupakan sesepuh.
Terdapat 10 rorokan (jika saya tidak salah dengar), ada kesenian, pamakayaan (pertanian), juru bicara, pemburu (hama dan babi), pendidikan, keamanan, dan
saya lupa sisanya…
Mapala IPB akan kembali long march |
sistim pemerintahan Kasepuhan
yang berusia 650 tahun ini adalah monarki. Artinya jabatan abah diturunkan dari
ayah ke anak laki-lakinya. Selama ini anak abah selalu ada yang laki-laki
sehingga kasus yang kini ada di kesultanan Yogyakarta tidak pernah terjadi.
Tidak hanya abah, rorokan pun bersifat monarki, diturunkan dari ayah ke anak
laki-lakinya, apabila rorokan tidak memiliki anak laki-laki maka jabatan akan
turun ke anak laki-laki dari saudara laki-laki si rorokan. Patriarki memang
masih cukup kuat di kasepuhan ini.
Selain Ki Jarna kami juga
disambut Ki Roi, pendatang asli Garut yang cukup talkative, beliau sudah 30
tahun ada di sini. Kami sebagai tamu mengutarakan maksud kedatangan kami, yakni
belajar tentang Ciptagelar dalam rangka mengisi liburan. Beliau bilang
“Kami menerima kalian disini,
silahkan nanti minta izin ke Abah, selain itu disini laki-laki wajib
menggunakan ikat kepala dan wanita menggunakan samping (kain yang dijadikan
rok)” ucapnya dalam Bahasa Sunda
Beliau juga bilang tanggal 14
hijriah, ketika bulan purnama akan ada acara adat dan kesenian. Tiap bulan
selalu begitu. Namun, sepertinya kami tidak akan selama itu tinggal di
Ciptagelar..
Karena kami sama sekali tidak
mempersiapkan akhirnya kami membeli ikat disana seharga Rp 50.000 per ikat,
sedangkan samping dipinjamkan.
Tips: belilah ikat diluar
Ciptagelar agar irit, atau bawalah slayer atau sapu tangan untuk dijadikan
ikat. Bawalah kain apapun (bisa sarung) untuk menjadi samping.
Pendatang pria wajib mengenakan iket dan perempuan wajib mengenakan samping. |
Selain itu ada ibu dari IBK,
mantan tempat kerja Rafid, beliau sudah ada disana sejak tanggal 28 Desember.
Kami dipersilahkan makan sebebasnya, jika mau tidur maka akan disediakan
tempat, baik di Imah Gede atau rumah warga. Kami memilih Imah Gede karena
nampaknya rumah itu adalah pusat aktivitas kampung. Kami juga bertemu dengan
Pak Guru sekaligus rorokan pendidikan. Beliaulah yang akan mengantar kami
bertemu abah. Sebelum bertemu abah kami harus mempersiapkan uang seikhlasnya
dan sebungkus rokok. Kami menunggu agar bisa bertemu dengan Abah. Namun sampai
sekitar jam 11 malam kami belum bisa bertemu dengannya, dengan kondisi kami
yang kelelahan akhirnya kami tertidur.
17 Januari 2019
Kami dibangunkan oleh Pak Guru
pada pukul 4 pagi. Kami bertemu dengan abah di rumahnya. Dengan salam sungkem
yang telah diajarkan Pak Guru sebelumnya kami memberi hormat pada Abah. Nama
asli Abah adalah Ugi Sugriana Rakasiwi, beliau baru berusia 33 tahun, anaknya
ada dua dan yang paling tua (biasa dipanggil Aden) baru berumur Sembilan tahun.
Kata Rafid si beliau kuliah, dan punya minat besar pada bidang elektro (tapi
kuliahnya bukan bidang elektro). Penerangan di Kasepuhan adalah kerjasama
beliau dan Microhydro for Indonesia.
Ciptagelar pun punya stasiun TV sendiri dan di Imah Gede ada TV flatscreen
rakitan abah yang terletak di dekat pintu masuk. Mungkin Abah akan sangat akrab
jika kami membawa mahasiswa elektro. Karena beliau melihat kami masih
mengantuk, beliau mempersilahkan kami tidur kembali.
Pagi hari kami kerumah Ki Jarna.
Kami minta diantarkan keliling kampung. Destinasi pertama adalah melihat
ibu-ibu menumbuk padi menggunakan lisung. Padi dari leuit (sunda: lumbung) Padi
akan ditumbuk dua kali di lisung. Setelah selesai ditumbuk, padi akan diayak.
Kami mencoba menumbuk. Ternyata pegal juga, apalagi kalua tongkat pemukulnya
berat.
Lisung tidak hanya digunakan untuk menumbuk
padi, melainkan juga alat musik. Ibu-ibu mencoba memperagakannya pada kami.
Kami terpana. Beda bagian yang dipukul pada lisung, maka beda pula bunyinya,
seolah alat ini memiliki tangga nada. Bahkan musik lisung dapat digunakan untuk
mengiringi lagu. Pada acara nikahan pun penampilan musik lisung menjadi mata
acara, bahkan dapat mencapai 80 penumbuk.
Keseharian ibu-ibu Ciptagelar |
Leuit juga bangunan yang unik.
Mereka tidak memakai paku, hanya menggunakan interlocking antar kayu. Bahan
untuk dindingnya adalah anyaman bambu. Untuk rangkanya digunakan kayu biasa dan
untuk atapnya digunakan daun aren. Tidak lupa kakinya dialas dengan batu pipih,
entah apa tujuannya. Bentuk keseluruhannya mirip rumah panggung. Kecuali
pintunya ada di bagian depan atap, sehingga untuk memasukkan beras harus
memanjat menggunakan tangga. Ukurannya berbeda-beda, pada umumnya ukurannya 1.5
x 2 x 2.5 m3.
Barisan leuit. |
Selanjutnya kami hiking sedikit
ke sawah Abah, masih ditemani Ki Jarna. Sawah Abah terletak di ujung kampung,
dan terdapat saung besar dan kincir besar dari bambu. Angin sangat kencang
sampai menusuk kedalam tulang. Semuanya kedinginan kecuali saya. Bahkan kincir
bambu besar berputar demikian cepat hingga menimbulkan suara gaduh dan
memunculkan asap pada sumbu rotasinya, saking besarnya gaya geseknya. Saya
sempat teringat pengalaman saya di Belanda, dimana kincir digunakan untuk
menumbuk gandum, memotong kayu, sampai memompa air laut. Potensi angin di sawah
abah cukup tinggi.
Setelah itu kami pergi ke huma
(sunda:ladang) Abah. Perlu hiking santai kira-kira satu jam kesana, karena yang
perempuan menggunakan samping, jadi jalan bak putri Solo. Di ujung huma Abah
terdapat sebuah saung kecil. Dari ujung huma, kita dapat menyaksikan
pemandangan 180 derajat. Gunung yang menjadi batas Kab. Sukabumi (Jawa Barat)
dan Kab. Lebak (Banten) pun nampak. Belum lagi pemandangan Desa Ciptagelar
secara utuh. Spot ini tempat wajib poto.
Pemandangan dari huma Abah, dengan Kasepuhan Ciptagelar sebagai pusat foto. |
Setelah itu kami bertemu seorang
aki yang mengaku sudah berusia kira-kira 100 tahun, dia berasal dari Kab.
Lebak. Katanya dia ada perlu dengan abah. Dia pernah jalan kaki ke bogor dan
pernah berjualan di Tj. Priok. Super sekali. Namun karena keterbatasan Bahasa
sunda, saya tidak mengerti setengah yang dia ucapkan. Bahkan Fadli, urang sunda
asli ti Tasik, tidak mengerti 100 % apa yang aki ceritakan. Nampaknya Bahasa
Sunda priangan (daerah gunung-gunung: Bandung, Tasik, Garut, Sukabumi, Bogor, Dll)
berbeda dengan Sunda Banten. Logat orang Banten pun mirip seperti orang Madura
(menurut saya) dengan intonasi penekanan di akhir kalimat.
Kampung diselimuti kabut beserta
hujan di sore hari. Wajar saja, Kasepuhan ada dalam wilayah Taman Nasional
Gunung Halimun Salak, dimana halimun berarti kabut dalam Bahasa sunda.
Malam hari kami kembali mencoba
belajar. Kali ini kami mengunjungi Rorokan pamakayaan. Disini kami mengorek info
kenapa kasepuhan memiliki ketahanan pangan hingga 95 tahun kedepan. Artinya,
untuk 95 tahun kedepan warga tidak perlu membeli beras. Hal ini disebabkan oleh
peraturan adat. Beliau bilang pare (sunda: padi) sangat sakral karena ada
kaitannya dengan Dewi Sri, seperti tulang punggung. Jadi filosofinya adalah
“tidak mungkin warga Ciptagelar
menjual padinya karena sama halnya dengan menjual tulang punggungya”
Bagi siapa yang menjual beras
maka akan dapat hukuman adat. Namun, beras dapat diberikan atau dipinjamkan ke
sesama warga. Di Ciptagelar, terdapat 160 varietas padi, namun tahun lalu hanya
110 varietas yang ditanam. Menanam padi di Ciptagelar tidak seperti di sebagian
besar tempat lain, dimana padi dipanen 2-3 setahun. Di kasepuhan, padi dipanen
satu tahun sekali. Filosofinya adalah
“tanah itu bagaikan ibu, kalau
kita suruh dia produksi padi terus-terusan maka dia akan lelah bahkan bisa
sakit”
Pemikiran ini dicocokan dengan
keberadaan unsur di tanah. Apabila produksi terjadi terus-terusan maka unsur
yang diperlukan padi akan cepat habis dan lama kembalinya. Hasilnya? Ciptagelar
tidak pernah gagal panen. Cukup logis ya.
Update : Dandhy Laksono
ekspedisi nusantara biru menyebutkan ketahanan pangan Ciptagelar sampai tiga
tahun kedepan. Info perhitungan ketahanan pangan ini masih simpang siur.
Setelah mewawancara Rorokan Pamakayaan. |
Menanam padi di Ciptagelar
memperhatikan alur astronomi, beliau bilang akan mulai menanam ketika kerti
(sunda: bintang, gatau bintang apa) telah muncul. Berhenti menanam ketika kerti
orion muncul. Dan memanen padi ketika sudah mulai ada hama. Dan terakhir,
pewarisan sawah diberikan pada laki-laki ketika dia menikah. Sang pemilik sawah
tidak harus menggarap sawah yang dia punya, dia dapat membayar tetangga untuk
mengerjakan tugasnya. Setiap seran tahun (acara panen) warga wajib memberikan
zakat dalam bentuk padi satu pocong (satu ikat). Zakat yang diberikan akan
dikumpulkan pada leuit sijimat.
Demikianlah yang menyebabkan Ciptagelar swasembada beras, bahkan kata Rorokan Pamakayaan ada padi yang usianya lebih tua ketimbang beliau. Bisa dibayangkan? Namun karena hampir semua lahan dipakai untuk padi, Ciptagelar kekurangan pangan lain terutama pangan laut. Bayangkan jika lahan seluas itu tidak diutamakan untuk beras saja, melainkan peternakan seperti ikan, kambing, sapi, sayuran. Pasti Ciptagelar akan swasembada seutuhnya. Itulah kritik kami.
Leuit Sijimat |
18 Januari 2019
Gerimis melanda sejak pagi, kami
mulai aktivitas agak siang karena dingin-dingin enaknya selimutan. Kami
mengunjungi rumah Ki Jarna. Sepertinya dia juga masih mager karena masih
bercelana pendek. Nampaknya Ki Jarna tinggal di rumah ini bersama istri dan
satu anak laki-lakinya yang masih kecil. Sebenarnya beliau punya anak
perempuan, namun sudah menikah dengan orang luar dan menetap di Jakarta, lepas
dari adat. Itulah enaknya menjadi wanita disini, mudah lepas dari adat. Namun
jika pria, maka kemungkinan dia harus menanggung tugas orang tuanya sebagai
rorokan atau bawahan rorokan.
Setelah sedikit reda kami hendak
turun ke turbin melalui sekolah. Sekolah disini seragamnya adalah pangsi
(pakaian hitam khas sunda untuk pria) dan kebaya serta samping untuk perempuan.
Kurikulum sekolahnya pun beda dengan sekolah pada umumnya (seingat saya). Ada
SD dan SMP, dan SMA .
Lembaga pendidikan di Ciptagelar |
Balik lagi ke turbin. Jadi
Ciptagelar punya dua turbin untuk pembangkit listrik. Ada di atas dan di bawah.
Kami ingin mengunjungi turbin yang ada di bawah. Melalui pematang sawah dan
tanah liat membuat sepatu saya tidak berguna, sehingga harus dilepas. Saya dan
Fadli tiba terlebih dahulu di saluran air turbin. Rumah turbin terletak 50
meter lagi dibawah sana. Fadli memegang besi yang tertancap pada saluran air.
Lalu ia terkejut karena tersetrum. Bahkan saya mencoba salaman dengan dia, dan
ada sensasi tersetrum.
Karena yang lain sudah tiba,
maka kami lanjut jalan mengikuti pipa air. Ternyata tanah disekitar pipa pun
memiliki aliran listrik, terpaksa kami harus memutari jalur utama. Kami
melewati tepi sungai yang cukup curam tebingnya mungkin tingginya sekitar 3-4
meter. Barulah kami sampai di rumah turbin. Di lantai rumah turbin pun terdapat
aliran listrik, tapi jinak sehingga geli-geli sedikit. Pokoknya kalian harus
pakai sandal ketika masuk. Karena sudah sampai rumah turbin tidak afdol jika
tidak berenang di sungai. Akhirnya kami berenang.
Salah satu PLTMH Ciptagelar |
Ketika kami pulang, hujan cukup
deras. Sehingga kami singgah di rumah salah satu warga sambil makan siang.
Timbulah obrolan tentang debat capres dan cawapres tadi malam. Si pemilik rumah
lebih condong ke paslon 2. Tapi dia bilang “semua tergantung Abah, kami mah
ngikut Abah aja”. Sedangkan kami lebih condong ke paslon 10, Dildo.
Sore hari hingga malam lampu
mati. Nampaknya turbin diatas macet karena sampah daun-daun. Sehingga Imah Gede
gelap. Magrib kami ke rumah Kang Yoyo. Kang Yoyo adalah warga Ciptagelar
naturalisasi yang berasal dari Tasik, Rajapolah. Beliau bertemu calon istrinya
yang berasal dari Bali di Ciptagelar dan menikah, mereka berdua punya latar
belakang pendidikan seni.
Cerita naturalisasi Kang Yoyo
agak unik. Pasalnya ketika SMP, dia keluar dari kampungnya dan merantau ke
Bandung. Dia kuliah di IKIP Bandung jurusan seni selama tujuh tahun. Untuk
menyambung hidup dia tidak ngekos sama sekali melainkan tinggal di sekre
himpunan mahasiswa, sambil ngamen jika ada waktu. Setelah dia lulus karirnya
melejit sebagai pemain pentas seni yang mengantar ia sampai ke Negeri Paman
Sam. Karena tidak betah disana, ia pindah ke Negeri sirup maple. Disana dia
berjanji tidak akan ke Indonesia lagi.
Namun, ia teringat kampungnya, ketika
ada waktu lowong biasanya dia pergi ke gunung. Beliau mematahkan janjinya dan
dia pulang ke Bandung. Di sana beliau bertemu adik abah dan diajak ke
Ciptagelar. Sempat menetap disini selama tiga bulan dia bilang ke Abah “saya
gamau turun lagi”, maksudnya adalah tidak mau keluar dari Ciptagelar. Abah
langsung mengumpulkan para rorokan dan baris kolot untuk memeriksa Kang Yoyo
dari fisiknya hingga garis keturunannya. Berdasarkan hasil penelusuran
keturunan oleh para tetua, ternyata Kang Yoyo merupakan keturunan warga Kasepuhan
Ciptagelar yang ditempatkan di Gunung Galunggung. Sehingga Kang Yoyo diangkat
menjadi jubir Ciptagelar, khusus menangani bule-bule.
Pokoknya recommended ngobrol sama beliau apalagi dengerin dongengnya, jika
tidak sempat ngobrol dengan Abah. Mulai dari dongeng asal mula kasepuhan, nabi
adam, bangsa Inggris, Rusia, Indonesia, Cina dan Arab, filosofi rumah panggung
sampai dengan Hajar Aswat, semuanya terhubung membentuk teori konspirasi yang
mencengangkan.
19 Januari 2019
Esok paginya kami bergegas, kami
pamit ke Mamah Alit (istri Abah) yang memiliki darah campuran Jawa ngapak, ke
Ki Jarna, dan ke orang-orang dapur. Mamah Alit memberi bekal timbel dan dodol,
orang dapur memberi air nira (air sadapan dari pohon aren). Hal ini karena kami
tidak akan menggunakan jasa ojek lagi, terlalu mahal bagi kami. Oleh karena itu
jalan kaki adalah pilihan.
Bersama Rorokan Kesenian: Ki Jarna |
Bersama Istri Abah: Mamah Alit |
Mapah (sunda: jalan kaki) ka
Cimapag, begitulah istilahnya. Empat jam perjalanan kami habiskan. Berbekalkan
air nira yang manis, kami survive. Kami sempat dilanda hujan dua kali sepanjang
perjalanan. lawakan-lawakan receh dan riddle mengisi waktu kami seraya berjalan
ke tujuan. Hingga akhirnya sampailah kami di Cimapag, dimana motor kami
dititipkan.
Jalur refleksi motor |
Dirumah itu kami berdiskusi
dengan Kang Giri, salah satu orang yang mengantar kami. Beliau menyarankan agar
kami lewat Cikotok, Citorek, Warung Banten, lalu baru ke Ciboleger, sehingga
kami tidak perlu melewati Palabuhan Ratu lagi untuk ke Baduy.
Comments
Post a Comment