CATATAN PERJALANAN: BELITUNG NEGERI LASKAR PELANGI + BUDGET
siapa sih yang gatau tentang Pulau Belitung? Negeri Laskar Pelangi sekaligus tempat kelahiran mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama a.k.a Ahok yang terjerat kasus Penistaan Agama. Kali ini saya akan mengulas apa saja yang bisa dilakukan di pulau ini selama liburan. Untuk fakta tambahan dapat di cek di http://kilikili-adventure.com/intermezzo/story/10-informasi-mengenai-pulau-belitung-yang-wajib-anda-tahu
ps: bagian budgeting ada di akhir artikel
ps: bagian budgeting ada di akhir artikel
SJTF
Perjalanan
ini bermula ketika saya mengikuti event SJTF (Sriwijaya Travel Fair) di ICE
BSD. Pada acara itu terdapat banyak tiket promo ke berbagai destinasi menarik
di Indonesia. Diantaranya adalah Sorong (Raja Ampat), Labuan Bajo (Komodo),
Bali, Belitung, Jogjakarta, Banyuwangi, Padang, dan saya lupa sisanya. Saya
mengincar tiket ke Labuan Bajo, namun karena saya datang di hari kedua harapan
tersebut sirna. Mungkin saya lebih berharap ke Sorong atau Bali. Setelah empat
jam lebih mengantri di hari kedua, saya dihadapkan kepada keputusan berat. Memilih
Sorong atau Belitung, karena ternyata tiket ke Bali sudah habis.
Tanggal-tanggal akhir tahun sudah sold out, sisa tanggal sekitar Oktober dan
Februari. Pilihan jatuh pada Belitung 13-15 Februari 2019 dengan harga Rp.
600.000 pp/orang, karena entah kenapa perasaan saya tidak nyaman ketika hendak
memilih Sorong walaupun harga pp nya Rp. 1.600.000
Reservasi
Beberapa
hal perlu dipersiapkan sebelum tiba di destinasi. Dua hal yang paling utama
adalah akomodasi dan trasnportasi. Untuk akomodasi, sebenarnya banyak
hotel/hostel dengan range harga Rp. 100.000 – Rp. 150.000/malam dengan
fasilitas standar (double bed, WC, lemari, hot water, AC, TV, dan sarapan).
Saya pribadi menginap di hotel Mustika, Tanjung Pandan dengan harga Rp.135.000.
Untuk transportasi, Belitung dikenal dengan minimnya transportasi umum sehingga
traveler punya dua pilihan, sewa mobil atau motor. Karena belum bisa
mengendarai mobil maka saya pilih motor dengan cost Rp. 70.000/hari. Jika ingin
motor diantar ke bandara maka akan ada tambahan harga sebesar Rp. 30.000,
begitu juga sebaliknya juga dengan harga yang sama.
Departure
13 Februari 2019
Saya
tiba di Bandara Internasional Soekarno – Hatta, langsung check in dan menunggu
di Boarding room. Saya hanya bisa memandangi earplug dan nose plug yang saya
beli malam sebelumnya. Hal ini karena seminggu sebelumnya saya terkena radang
telinga luar atau Otitis Eksternal. Liang telinga kiri saya bengkak,
pendengaran berkurang, kadang terasa nyeri, bahkan keluar cairan dan sedikit
darah. Saya khawatir dan sedih dengan keadaan ini. Pasalnya, snorkeling adalah
hal yang sangat terlarang bagi bagi pengidap infeksi telinga. Earplug yang saya
beli bukan akan digunakan untuk snorkeling, melainkan untuk melindungi gendang
telinga dari tekanan udara yang berubah secara tiba-tiba saat take off dan
landing.
Setelah
kurang lebih satu jam mengudara, pukul 9 pagi kami landing di Bandara
internasional Hanandjoedin, Tanjung Pandan. Bandara yang luasnya kurang lebih
sama dengan Bandara Husein Sastradinata ini menjadi terminal pesawat domestik,
Singapura, dan China.
Belum
lama berada diluar bandara, saya ditelepon oleh Mas Agus, yang menyewakan
motor. Beliau langsung mengantar saya ke parkiran menuju motor, menyerahkan
kunci dan stnk. Untuk DP sewa motor Rp. 100.000 saya sudah bayar ke temannya,
tinggal membayar sisa Rp. 170.000 ke beliau. Beliau memberi tips: jangan
mengisi bensin di pom bensin karena spbu selalu tutup, lantaran bensin selalu
diborong oleh pengecer. Keluar bandara kami langsung isi bensin di pinggir
jalan. Premium dijual eceran seharga Rp. 8.000/liter.
Karena
masih pukul 10 kami drop barang dulu di Hotel Mustika karena check in baru bisa
dilakukan pukul 12. Alhasil kami hanya membawa kamera, gopro, tiga bungkus
nori, satu botol snack gingseng, dan roti sisa pesawat. Kebiasaan dari survei
di papua membuat saya selalu ingin menjelajah daerah yang lebih jauh dahulu,
yakni Belitung Timur yang beribukota Manggar. Perlu waktu 90 menit kesana dari
Tanjung Pandan. Perjalanan dimulai!!!
Belitung
atau seringkali tulisannya menjadi Belitong, adalah wilayah yang cukup sepi
bagi saya. Tidak banyak orang yang kami temui di sepanjang perjalanan dari
Tanjung Pandang – Manggar, baik di kota ataupun pinggir jalan. Mungkin karena
warganya sedikit, jadinya kendaraan juga sedikit. Sedikitnya kendaraan
berimplikasi pada jalan aspal yang relatif baik kondisinya dibanding jalanan di
Jawa. Beberapa lahan di Pulau Laskar pelangi ini dihuni oleh tanaman sawit,
namun tidak seberapa banyak. Menurut pengamatan saya, kebanyakan lahan adalah
ladang kosong, alang-alang, tambang, telaga, dan hutan. Jangan lupa siapkan krim
tabir surya terutama jika mengendarai motor karena cuaca cukup panas.
Main
Course
Setelah
sejam lebih bergulat dengan aspal dan belokan jalan, tibalah kami di Museum
Kata Andrea Hirata, museum kata pertama di Indonesia. Andrea adalah penulis
asal Gantong, Belitung Timur, yang sudah berkiprah di dunia internasional
lantaran novel andalannya, Laskar Pelangi. Untuk masuk pengunjung dikenai biaya
retribusi Rp. 50.000/orang dan mendapatkan buku Laskar Pelangi. Di museum ini
terdapat banyak poster dengan kata-kata, gambar, beberapa poster Laskar Pelangi
yang bahasanya sudah diterjemahkan ke berbagai Bahasa, perpustakaan, lukisan,
dan replika sekolah Laskar Pelangi. Ketika memasuki replika sekolah, saya
langsung teringat dengan SD reyot di Kampung Favenumbu, Kab. Keerom, Papua,
apakah gurunya sudah kembali? Apakah anak-anak itu sudah belajar kembali?
Nampaknya baik di Barat atau Timur, kualitas sarana pendidikan Indonesia masih
belum merata.
Roda
skuter beat biru kembali berputar. Kali ini kami melancong ke pantai yang
namanya dijadikan lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa, Pantai Nyiur Melambai.
Didepan pintu masuk terdapat lapangan luas dengan warung-warung yang tutup dan
sepi. Saya kagum dengan pantai ini karena pasirnya putih dan halus, serta
hampir tidak ada sampah di pantainya. Di bagian selatan pantai terdapat hutan
pinus, beberapa wahana bermain dan alat fitness, dan beberapa rumah kecil yang
nampaknya adalah hostel pinggir laut. Di lepas pantai terhampar laut dangkal
yang diseberangnya terdapat pulau-pulau. Laut yang dangkal membuat pantai ini
memiliki banyak pulau pasir atau lebih dikenal dengan gosong pasir.
Beat
kembali digeber, namun dia butuh asupan. Rupanya BBM di Belitung Timur lebih
mahal Rp. 1.000 ketimbang di Barat.
Tidak
sampai 30 menit kami tiba di Pantai Burong Mandi. Tapi tidak ada burung disini
(?). Pasirnya juga putih, namun terdapat beberapa batu besar di pojok-pojok
pantai. Tempat ini lebih ramai dari pantai sebelumnya karena banyak nelayan dan
banyak kapal-kapal kecil dipinggir pantai. Di bibir pantai bagian selatan
terdapat dermaga yang bisa digunakan sebagai spot foto. Kami sempat melihat
adanya batu photogenic di google review tempat ini. Dari selatan sampai utara
kami susuri pantai ini, nihil yang kami dapat.
10
menit naik motor dari Pantai Burong Mandi kami menjumpai Klenteng Dewi Kwan Im.
Jika diperhatikan dengan seksama, di Belitung Timur memang ada banyak Kuil.
Berdasarkan warga lokal, hal ini dikarenakan kentalnya budaya tiong hoa di
Belitung Timur yang merupakan sentra penambangan timah pada zaman kolonial.
Beliau bercerita bahwa zaman Belanda orang-orang china dibawa dari negerinya ke
Belitung lalu dipekerjakan di tambang timah, dan banyak dari mereka yang
mendirikan klenteng.
Kami
hendak menuju Danau Mempayak. Tapi mata kami terperana dengan papan penunjuk
jalan bertulisan “Pantai Bukit Batu”. Kami ikuti jalan yang ada di gmaps.
Sampailah kami di depan pagar yang dibuka namun jalannya dipalang. Kata hati
sempat ragu karena palang diidentikan dengan perintah dilarang masuk. Lalu ada
warga yang kebetulan membawa kendaraan bermotor masuk melewati celah kecil
disamping palang. Baru kali ini di Belitung kami melewati jalan aspal ditengah
hutan rimbun yang dipinggir jalan banyak kera yang sedang nongkrong. Jalanan
aspal berakhir, namun saya terobsesi untuk melihat pantainya. Ternyata
pantainya tidak beda jauh dengan Pantai Burung Mandi, hanya saja lebih teduh
karena banyak pohon rindang di tepi pantai. Dibagian selatan pantai terdapat
rumah besar. Dengan keterangan-keterangan yang ada kami menyimpulkan bahwa
tempat ini adalah pantai private.
Selanjutnya
adalah Danau Mempayak. Namun aneh tapi nyata, kami sudah tiba di lokasi sesuai
gmaps, tapi tidak terlihat danau yang dimaksud. Apakah danaunya kering? Ataukah
petanya salah? walaupun danaunya cukup besar, tapi tidak ada satupun tubuh air
yang terlihat disekitar lokasi. Kami yang kecewa enyah dari tempat.
30
menit kemudian kami sampai di tambang timah Kelapa Kampit, atau warga
menyebutnya dengan nama open pit. Jika ingin sampai ke open pit pengunjung
harus menggunakan motor trail, atau bisa jalan kaki. Karena kami pakai motor
matic, kami parkir motornya ditengah hutan, kunci stang, kunci slot motornya,
dan lanjut jalan. Langkah demi langkah berlalu. Hati menguatkan pikiran bahwa
tanjakkan ini bukanlah apa-apa dibandingkan gunung-gunung yang sudah saya daki.
Tidak sadar, kami sudah sampai di open pit. Sejenak sambil menikmati pemadangan
di ketinggian sambil menyaksikan beberapa rombongan motor trail lewat, kami
mengistirahatkan raga dan memanjakan jiwa.
Kembali
ke beat biru, saya mencoba membuka kunci slot magnet. Slot tidak mau terbuka.
Saya coba berulang-ulang, peluh dan geram yang didulang. Saya pukul slotnya
dengan batu, batunya hancur. Saya coba hubungi Mas Agus, dia mengatakan bahwa
dia lupa memberi tahu saya tentang slot motor keluaran honda itu. Singkat
cerita ternyata kunci itu sudah kehilangan dua magnet sehingga menyisakan dua
magnet, untuk membuka kunci slot kita membutuhkan minimal tiga magnet. Itu yang
saya lihat di youtube.
Matahari
mulai mendekat ke horizon. Kami yang kehabisan akal berjalan ke bengkel
terdekat. Untungnya, bengkel terdekat hanya berjarak kurang dari 1 km. Saya
menemui mekanik bengkelnya dan meminta tolong. Beliau bernama Mada, biasa
dipanggil Bang Mada. Beliau menyanggupi dan dengan membawa kunci cadangan
motornya, yang kebetulan adalah beat, kami kembali menuju hutan. Beliau coba
buka dan gagal. Akhirnya beliau kembali ke bengkel dan mengambil obeng dan
perkakas lainnya. Hari ini nampaknya kita akan unboxing beat. Spakboard bagian
tengah dan bodi bagian lampu depan dibuka habis. Sehingga, baut yang mengunci
slot kunci magnetik dapat dibuka dari sisi lampu depan, slotnya pun bisa
dilepas dengan mudah dan motor dapat dinyalakan kembali.
Setelah
sampai dibengkelnya saya berniat pamit dan memberi upah. Namun, beliau tidak
mau. Tiga kali saya memaksa dan tiga kali juga beliau menolak. Sampai saya
bilang
“yasudah
kalau begitu, semoga rezeki abang tambah lancar”
“aamiin”
jawab pria paruh baya itu dengan senyuman.
Kami
pamit. Beberapa saat kemudian telepon berdering. Rupanya Mas Agus bilang
“Gimana
mas ketemu bengkel ga? Nanti sewa motornya dipotong aja sama upah bengkelnya”
Jika
saya orang jahat, saya bisa saja bilang montirnya minta uang, lagipula salah
Mas Agus juga kami terjebak disini dan tidak dapat menyaksikan sunset di
Tanjung Pendam. Tapi, hal itu akan menodai kebaikan dari Bang Mada, jadi saya
jawab
“udah,
orang bengkelnya ga minta duit kok”
Pukul
7.30 malam kami sampai di sekitar pusat kota, tepatnya di kedai Mie Atep. Kedai
ini sangat terkenal. Di dinding-dindingnya terdapat foto-foto pemilik kedai
dengan beberapa orang, mulai turis asing, presenter (Andi F. Noya), pelawak
(Tukul dan Gogon), pembawa acara kuliner (Bondan Maknyoss), sampai mantan
presiden (Megawati Soekarno Putri). Dua porsi Mie Atep dengan air es dan es teh
manis dibanderol dengan harga Rp. 46.000.
gambar dari https://www.kaskus.co.id/thread/59209b40582b2e000f8b4569/kuliner-belitung-mie-atep-yang-legendaris/ |
Jujur
awalnya saya menganggap remeh Belitung. Terbesit di benak “ngapain ya ke
Belitung? kayanya satu hari keliling objeknya langsung habis”. Ternyata tidak.
Masih ada unexplored Belitung Selatan.
14 Februari 2019
Bangun
terlalu siang, kami memanfaatkan fasilitas sarapan pagi yang diberikan hotel
untuk menghemat kantong (baca: mi goreng). Kala itu kami hanya memprioritaskan
dua destinasi, Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Awalnya kami juga
menempatkan Tanjung Pendam sebagai tempat sunset, namun ternyata Tanjung Tinggi
lebih indah.
Tanjung
Kelayang merupakan merupakan pantai yang berada persis di Barat laut Belitung. Pantai
ini menjadi spot island hoppingnya Belitung. Butuh perjalanan 45 menit dari
Tanjung Pandan ke Tanjung Kelayang. Tempatnya juga luas. Ada aula luas dan ada
panggungnya. Ada ampiateater kecil. Ada tulisan yang Instagram-able dan kapal
yang photogenic. Terlepas dari semua spot foto tersebut, tujuan utama kami
adalah island hopping. Namun, suasana sangat sepi ketika kami datang. Kami
hanya berdua dan sewa kapal Rp. 400.000/kapal terasa cukup berat untuk dua
orang. Saat itu, hanya ada beberapa penjual cinderamata keliling, petugas
kebersihan, dan guide island hopping.
Awalnya
saya berniat tunggu saja sekitar sejam sambil jalan-jalan di pantai, berharap
ada yang mau bergabung dengan kami dan sharecost nya akan turun. Beberapa
pengunjung lain akhirnya datang. Saya mencoba mendekati mereka. Ternyata mereka
sudah ikut paket wisata rombongan 60 orang. Matahari mulai naik ke zenit, kami
bertemu pasutri yang ternyata juga mencari rekan island hopping. Kami sepakat
dan mengajukan harga Rp. 400.000/kapal untuk empat orang dengan destinasi Pulau
Batu Garuda, Pulau Kelayang, dan Pulau Lengkuas. Di daftar yang saya buat ada
satu pulau lagi yang tak ditawarkan, yakni Pulau Kepayang, saya pun bertanya
“Kenapa
ga ke Pulau Kepayang juga pak?”
“Saya
kasih tau bang. Kepayang itu adalah resort mahal, jadi kalo kita masuk kesana
harus bayar sekitar Rp. 100.000, dapat makan dan minum, lalu cuma main dipasir.
Dibelakang resortnya hutan semua” ungkap si bapak
(Sebenarnya
ada satu lagi yakni Pulau Babi, saya lupa menanyakan tempat ini…..)
Aak,
pemuda yang memandu kami sepakat, dengan syarat kami harus menyewa pelampung
Rp. 20.000/orang. Pelampung adalah kewajiban agar kecelakaan seperti di Danau
Toba dapat diantisipasi.
Destinasi
pertama adalah Pulau Batu Garuda, terlihat jelas dari Tanjung Kelayang.
Dinamakan Batu Garuda karena terdapat sebuah batu yang bentukannya mirip kepala
burung. Pulau yang berupa susunan batuan granit masif ini tidak dapat dilabuhi.
Sehingga kami hanya bisa berfoto dari atas perahu.
Destinasi
kedua adalah Pulau Kelayang yang terletak persis disamping Pulau Batu Garuda.
Pulau ini memiliki spot foto berupa gua-gua dan kolam yang ciamik. Beda dengan
gua karst yang terjadi karena hasil pelarutan, gua di pulau ini terjadi karena
monolit-monolit granit yang berkumpul sehingga terdapat celah-celah diantara
mereka. Celah ini lah yang orang lokal sebut sebagai gua. Zaman dulu, banyak
ditemukan burung walet di gua ini, dalam Bahasa lokal walet = kelayang, itulah
asal-muasal nama pulau tersebut. Kami menemukan ada yang camping di pulau ini,
nampaknya para pembaca bisa mencobanya.
Kami
meminta pendapat pasutri tentang perbandingan pantai Bangka dan Belitung karena
kebetulan mereka adalah orang Bangka. Mereka bilang Pantai Belitung lebih baik,
karena pasirnya putih dan belum ada penambangan timah di tengah laut. Lain
halnya dengan Pantai Bangka, disana terdapat penambangan timah di lepas laut,
sehingga lautnya menjadi keruh. Menurut pengakuan si istri, seminggu kebelakang
Bangka selalu dilanda hujan deras dan terkena banjir. Sedangkan di Belitung
juga sedang sering hujan tapi tidak pernah banjir. Apakah faktor pemukim yang
sepi menyebabkan minimnya deforestasi di Belitung yang menyebabkan tak pernah
terjadinya banjir?
Destinasi
terakhir adalah Pulau Lengkuas yang terkenal dengan mercusuarnya yang sudah
berusia ratusan tahun. Sebenarnya pengunjung bisa naik ke mercusuar, namun
hanya sampai lantai 3. Perlu perjalanan sekitar 15 – 20 menit dari Pulau
Kelayang menuju kemari. Pulau ini relatif lebih ramai dibanding Pulau Kelayang
karena ada beberapa rumah penduduk. Saya rasa disinilah susunan batuan granit
paling indah. Bagaimana tidak? Kami menghabiskan waktu selama lebih dari satu
jam dengan berfoto dalam radius 10 meter di susunan batuan tersebut. Bahkan ada
yang sedang photoshoot untuk gaun dan ada yang photoshoot untuk produk
pashmina(?) di celah-celah batuan.
Sebenarnya disekitar pulau ini terdapat spot snorkeling, namun karena saya sedang infeksi telinga, saya urungkan niat. Setelah lelah berfoto, Aak pun datang mengisyaratkan bahwa kami harus kembali karena pasutri yang kami bawa ingin segera kembali ke Tanjung Kelayang. Mereka bilang ingin ke Manggar. Inilah beratnya gabung dengan rombongan lain, terdapat kepentingan berbeda. Yang satu sudah lelah menunggu dan yang satu masih mau foto-foto. Saya sarankan jika ingin island hopping bawalah rombongan sendiri minimal lima orang agar sharecost perahunya tidak terlalu mahal dan tidak ada perbedaan kepentingan.
Setelah
kembali ke Tanjung Kelayang, pasutri pamit dan Aak minta username akun
Instagram kami untuk di follow. Dia adalah tour guide yang sangat baik dan
ramah, rela menjamah tempat sulit demi kepuasan foto pengunjung, dan paham
dengan sejarah-sejarah Belitung. Bahkan dia hendak mengantar kami dan
menunjukkan spot-spot foto di Tanjung Tinggi. Namun kami menolak karena jam
masih menunjukkan pukul 3 sore. Selain itu, kami minta rekomendasi beliau untuk
makanan khas Belitung, dan dia menyarankan untuk makan Gangan.
Aak
juga menyarankan jika ingin menikmati keramaian di Belitung, maka datanglah
pada tanggal 10 Oktober. Setiap tahun pada tanggal itu akan ada upacara laut
dimana nelayan mengantar persembahan pada laut. Otomatis semua kegiatan island
hopping hari itu akan ditiadakan, tetapi siapapun yang ada di Tanjung Kelayang
pada saat itu bisa makan secara gratis! karena ibaratnya 10 Oktober adalah hari
syukuran bagi masyarakat lokal. Selain itu, syukuran itu juga bertepatan dengan
event sailing. Jadi, para turis asing pensiunan yang sedang berlayar keliling
dunia sempat singgah di Belitung
Setelah
puas beristirahat di Tanjung Kelayang kami bergeser ke Tanjung Tinggi yang
hanya berjarak 10 menit. Disana kami menghabiskan waktu sambil melihat
anak-anak bermain bola, menyaksikan turis asing yang berkunjung, memperhatikan
shooting pre-wedding, sampai memberi makan rombongan semut hitam dengan ciki
(?) semua dilakukan untuk menghabiskan waktu menunggu sunset.
Kami
bergerak ke arah timur pantai, terdapat kelompok batuan granit yang ukurannya
lebih besar ketimbang batuan di Pulau Lengkuas. Banyak celah-celah antar batu
yang dapat dijadikan spot camping. Dasar! Tumpukan batu photogenic.
Hujan
turun, kami berteduh sebentar dibawah tenda pedagang thai tea sambil
menghabiskan waktu. Setelah pukul 17.45 barulah kami berjalan ke bebatuan di
barat pantai. Sayangnya, awan cumulonimbus menghadang barat di sore itu,
sehingga menutupi sang fajar. Untuk memastikan matahari sudah tenggelam bahkan
saya menginstall apps sky map untuk mengetahui keberadaan matahari. Ternyata
fajar sudah berada dibawah horison. Sayang seribu sayang, padahal kemarin
sunset masih terlihat indah walaupun dalam perjalanan Kelapa Kampit – Tanjung
Pandan.
Kami
duduk diatas batu di bagian barat pantai, menyaksikan sang fajar yang ditutupi
oleh awan adanya. Lalu sembari menghabiskan waktu, kami mengabadikan momen
dengan mode timelapse
Hujan
dijalan tidak menyurutkan niat kami untuk kembali ke kota untuk mencoba makanan
khas Belitung. Makanan ini bernama Gangan. Terdapat dua jenis Gangan: Gangan
Laut dan Gangan Darat. Bedanya adalah Gangan Laut merupakan ikan kuah kuning
dengan rempah dan potongan nanas. Sedangkan Gangan Darat sama seperti Gangan
Laut, namun ganti ikannya dengan daging sapi. Makanan ini sangat recommended!
Enak! Kuahnya membuat tubuh yang basah kehujanan menjadi hangat karena adanya
rempah – rempah. Yang ada di benak saya
“wah
Gangan ada nanasnya? Pasti kuahnya asam karena ada nanas”
Ternyata
tidak bung! Kuahnya gurih dengan sedikit sentuhan asam, bahkan nanasnya berasa
seperti kentang.
15 Februari 2019
Rencana
kami untuk ke Bukit Kubing gagal lantaran kesiangan. Butuh 2 jam untuk mencapai
tempat ini dari kota dengan akses non jalan aspal. Alhasil, kami pergi ke Belitung
Mangrove Park, 30 menit dari kota. Tapi sebelum itu, kami tidak ingin melewatkan suto legendaris di Kedai Mak Jannah yang ada di pusat kota, tidak jauh dari Kedai Mie Atep. Suto sendiri di Belitung di lafalkan "soto", namun bentuk dan rasanya sangat mirip dengan lontong kari. Makanan ini terdiri dari lontong, bihun, emping, irisan kentang, irisan daging sapi, dan kuah kari. Untuk teh manis dan suto dibanderol dengan harga kurang dari Rp. 20.000
gambar dari https://travelingyuk.com/kedai-mak-jannah/116279/ |
Sampainya
kami di depan Taman, suasananya sangat sepi. Ada satu warung dengan seorang
ibu. Namun, dia tidak berinteraksi dengan kami dan tidak menagih uang tiket
masuk. Demikian, kami main masuk saja ke dalam taman. Rasanya seperti zombie
apocalypse, banyak sekali wahana permainan, tapi tak ada orang. Kami berjalan
ke tepi pantai, lautnya keruh, sepi, dan langitnya mendung. Sehingga kami tidak
betah berada di tempat tersebut lama-lama karena suasana makin mencekam bak
film horror. Kami pulang melalui jalur yang berbeda dengan jalur masuk.
Terdapat sebuah wahana kapal. Di dalamnya ada seorang warga dan anaknya,
mungkin beliau adalah penjaga tempat tersebut. Kehadiran mereka membuat tempat
tersebut menjadi tidak seram lagi. Syukurlah ada manusia lain di tempat ini.
Pulangnya
kami dari tempat tersebut kami mampir ke mie ayam Bangka. Ternyata mie ayam
Bangka tidak se mainstream mie ayam di Jakarta. Mie ayam Bangka disajikan
dengan piring (yap, bukan mangkok) berisi mie, potongan daging ayam, irisan
timun, toge, dan pangsit dengan kuah kaldu. Bukan kuah mie ayam mainstream yang
bumbunya adalah kecap asin dan msg. Tidak lupa saya pesan mie koba yang terdiri dari mie, toge, daun bawang, telur rebus, dan kuah dengan rempah yang kuat. mie ayam bangka + mie koba + es jeruk + teh tawar seharga kurang lebih Rp. 45.000
sayangnya hujan mengguyur Belitong hingga sore hari. Kami harus mengurungkan niat unuk menjajah destinasi kedua hari ini: Danau Kaolin. Tanpa adanya pencahayaan yang baik dari matahari, danau kaolin tidak akan terlihat menarik. Daripada menuju ke Danau, lebih baik kami berangkat ke Bandara.
BUDGET
0. tiket pp jkt-blt Rp. 600.000
1. hotel Rp. 270.000 dua malam
2. motor Rp. 210.000/ 3 hari
3. antar-jemput motor ke bandara Rp. 60.000
4. sewa kapal island hopping Rp. 400.000/kapal
5. sewa pelampung (wajib) Rp. 20.000/orang
sayangnya hujan mengguyur Belitong hingga sore hari. Kami harus mengurungkan niat unuk menjajah destinasi kedua hari ini: Danau Kaolin. Tanpa adanya pencahayaan yang baik dari matahari, danau kaolin tidak akan terlihat menarik. Daripada menuju ke Danau, lebih baik kami berangkat ke Bandara.
Terima kasih pada shofagi raniyah karena semua foto diatas berasal dari jepretan beliau. yuk follow ig nya sis @agiueo
BUDGET
0. tiket pp jkt-blt Rp. 600.000
1. hotel Rp. 270.000 dua malam
2. motor Rp. 210.000/ 3 hari
3. antar-jemput motor ke bandara Rp. 60.000
4. sewa kapal island hopping Rp. 400.000/kapal
5. sewa pelampung (wajib) Rp. 20.000/orang
Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
ReplyDeletedimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802
Pengalaman yg seru, jadi kepingin explore Belitung. Sukses terus bang!
ReplyDelete