Catatan Perjalanan: Dilarang Pacaran di Baduy Dalam (urang kanekes part 1)
19 Januari 2019
Malingping oh Malingping
Setelah
dari rumah Kang Giri, kami pergi sesuai arahan beliau. Tujuan kali ini adalah
Baduy. Dari Cimapag, kami turun ke selatan namun tidak sampai ke pelabuhan
ratu, kami belok ke barat, ke Cikotok. Melalui jalur ini kami masih menyaksikan
alam yang asri, hutan yang masih lebat, dan sungai yang mengalir dengan deras
lantaran musim hujan. Jalan yang berliku membuat kami mengendarai motor dengan
lambat sembari menikmati pemandangan lembah-lembah di perbatasan Sukabumi dan
Lebak. Seringkali pembagian administratif dua daerah dibatasi dengan kenampakan
geografi, salah satunya sungai. Termasuk dengan Lebak dan Sukabumi, dibatasi
oleh sungai yang entah apa namanya.
Sampailah
kami di suatu pertigaan, dimana kanan adalah Cirotan, dan lurus adalah Bayah.
Fadli bertanya pada warga di pertigaan. Ternyata memang kalau mau ke Baduy
lebih cepat harus lewat Cirotan. Kebetulan juga ada warga yang hendak menuju
sana dengan motor. Kami berembug. Yang menjadi pertimbangan kami adalah waktu
dan akomodasi. Kami akan sampai di Ciboleger malam hari, khawatirnya warga
sudah beristirahat sehingga kami akan bingung menginap dimana. Dengan senang
hati kami berbelok kembali ke pantai selatan.
Setelah
terus-menerus mengemudi tanpa istirahat, tibalah kami di Bayah. Bayah adalah
suatu kecamatan di Lebak Selatan, berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Sejak zaman kompeni, daerah ini terkenal oleh tambang batubaranya. Sampai saat
inipun kami masih menjumpai tumpukan-tumpukan batubara di pinggir jalan.
Sebagai orang yang pernah belajar geologi, saya bertanya-tanya “dimana
cebakannya?”. Ternyata Rafid yang merupakan sarjana pertambangan pun juga
berpikir demikian. Namun, perhatian kami akan batubara teralihkan oleh putihnya
pasir pantai di Bayah. Pasir pantai yang menggoda untuk diinjak dan disinggahi.
Begitu juga batu karang hitam yang berbaris meminta untuk dijamah. Kami
berkendara dengan sangat pelan untuk mencari spot yang indah dan nyaman sambil
menikmati sunset.
Pantai Bayah |
Kala
gelap menjemput, kami melanjutkan perjalanan. Sempat terpikir oleh saya untuk
menginap di pantai karena banyak sekali saung-saung tersedia, namun tidak tahu
apakah gratis atau berbayar. Tapi kami berpikir faktor keamanan karena kami
membawa perempuan. Kami memutuskan untuk singgah di kota terdekat karena di
gmaps satellite terlihat keberadaan pemukiman yang rapat tidak jauh dari Bayah.
Sampailah
kami di Malingping. Namanya cukup asing dan ternyata sangat ramai. Banyak
kendaraan berlalu-lalang, para remaja komunitas lokal tumpah ke jalanan, dan
banyak sekali orang disekitar alun-alun Malingping. Kami makan di sebuah warung
kaki lima di timur alun-alun, depan kantor satpol pp. Fadli bertanya
“a’
mun di masjid agung tiasa nginep diditu?” (kalau di masjid agung bisa nginep
ga?)
“gabisa
a’ soalnya dikunci kalo malem” balasnya dengan Bahasa Indonesia
“kalau
mau ke pendopo satpol pp aja, tapi minta izin dulu” lanjutnya
Lalu
dia ngobrol ke emaknya dengan Bahasa sunda. Kenapa dia tidak menanggapi Fadli
dengan Bahasa Sunda (?).
Selesainya
kami makan kami terkejut dengan harga makanan. Saya dan Rafid membayar
masing-masing Rp. 40.000 untuk soto daging + nasi + ati ampela. Fadli juga
bayar sedemikian. Ute dan Fani membayar Rp. 25.000 karena hanya beli sate dan
nasi. Kami merasa “ditembak”. Pesan moral: tanyalah harga sebelum membeli.
Kami
mendekat ke Pendopo yang disebutkan. Tapi para wanita memberi isyarat tidak mau
karena terlalu banyak laki-laki disana. Lantas kami berkomunikasi dengan satpol
pp yang sedang ada di pos. kami jelaskan maksud dan tujuan. Beliau menerima
kami dan menyiapkan tempat menginap di ruangan yang seadanya. Sangat baik
sekali bapak-bapak ini.
20 Januari 2019
Terbangun
dari tidur di gudang satpol pp Malingping. Satu persatu beranjak mandi. Setelah
mandi kami pergi ke pasar untuk beli sendal dan leumeung. Leumeng adalah ketan
beras yang dibakar di dalam bambu. Selain Leumeung, makanan khas Malingping
adalah baso ikan, sepertinya Tasik punya saingan disini bung. Tidak cukup
sarapan leumeung kami sarapan mie ayam dan baso di pertigaan pasar. Syukurlah
kami menanyakan harga terlebih dahulu dan ternyata sangat terjangkau. Mie Ayam
biasa Rp. 8.000, bakso rusuk Rp. 15.000, mie ayam bakso jumbo Rp. 15.000.
Setelah itu kami kembali dan packing. Kami pamit ke ibu tetangga dan pak satpol
pp.
Tempat kami bermalam (perhatikan botol air aren yang otw menjadi tuak) |
Menuju Kanekes!
Kami
melaju dengan kecepatan tinggi, seperti biasa formasinya, Rafid di depan
(karena ga enak ga ngebut pakai motor 200 cc), saya di tengah karena lambat,
dan Fadli di belakang. Tiap ada percabangan jalan kami selalu berhenti.
Jalannya mulus tidak berlobang, namun turun naik dan belok belok, jadi perlu
diwaspadai. Kira-kira kurang dari 90 menit kami sampai di gunung kencana. Mulai
dari sini jalan rusak menanti. Kami sempat isi bensin dan si ibu berkata Baduy
sekitar dua jam lg. Dari jalan masuk Gunung Kencana pemandangan berbukit-bukit
mengingatkan saya pada Keerom, Papua. Jalan turun naik belok belok dan rusak
penuh genangan air kami lewati.
Jalan menuju Kanekes |
Tiap pertigaan kami bertanya sampai ada suatu
saat kami salah jalan dan dianjurkan putar balik, sebenarnya masih bisa ke Baduy,
tapi lewat medan tanah merah yg kurang memungkinkan untuk motor kami. Tiba kami
di suatu pertigaan dimana semua jalan bisa ke Baduy. Via Cijahe, via Ciboleger
dan via jalur medan tanah merah. Warga di pertigaan menyarankan lewat Cijahe.
Karena dekat, jalannya bagus, dan durasi menuju Baduy Jero (sunda: dalam) via
jalan kaki tidak panjang. Sedangkan lewat Ciboleger jauh, jalannya jelek dan
durasi untuk ke Baduy Dalam bisa 2x lipat. Jelas kami pilih Cijahe. Sebelum itu
kami lupa narik duit, padahal atm terakhir ada di belokan Gunung Kencana.
Alhasil kami berangkat dengan uang seadanya.
Baru 15 menit kami jalan dengan
motor sudah ada tulisan "Baduy Jero" di belokkan kiri via Cijahe.
Kami masuk kedalam dan ada parkiran. Ternyata kampung Baduy Dalam telah
menerima tamu kemarin malam sebanyak 60 orang. Di parkiran ini ada preman
mendekati kami suruh parkir dan bicara ke kami. Gerak geriknya sangat
mencurigakan namun jelas. Kami disarankan beli perbekalan seperti beras dan
ikan asin di warung warung parkiran. Padahal kami tanya warga Baduy Dalam yang
sedang ada di parkiran
"Tidak
usah bawa apa apa" kata Kang Safri, yang nantinya di rumah beliaulah kami
bermalam
Rafid
yang kurang suka berkomunikasi dengan mereka (preman) bertemu dengan Kang Safri,
warga Baduy Dalam. Katanya kami bisa menginap di tempat dia. Orangnya cenderung
gaul dan bisa berbahasa indonesia dengan fasih. Kami putuskan untuk menjadikan
beliau sebagai guide kami. Lalu
perjalanan dimulai.
Masyarakat Baduy Dalam (ikat kepala putih) sedang beristirahat setelah mengangkut durian |
Sebelum
masuk daerah Baduy. Kami harus mendaftar di buku tamu, mengisikan nama, nomor
ktp, dan tanggal masuk & keluar, cukup diisikan oleh perwakilan rombongan
lalu membayarkan uang retribusi seikhlasnya dan memasukkannya ke kotak.
Pos pendaftaran |
Hal
yang pertama kami temui di perjalanan adalah lumpur. Jadi saya dan kawan kawan
langsung lepas sendal karena tiada gunanya. Bahkan dengan kaki kosongpun kami
masih kerepotan karena jalanan sangat licin. Orang-orang Baduy Dalam yang
pulang bersama kami jalan dengan sangat santai namun tidak terpeleset. Setelah
lumpur, medan seperti bebatuan yang disusun pun muncul namun karena hujan.
Medan ini tidak memberikan ampun sedikitpun. Saya dan Rafid tertinggal di
belakang karena Ute dan Fani dipandu oleh warga (dipegangi tangannya) sementara
Fadli hobi berlari. Saya sering sekali terjatuh karena memang betul licin.
Saking sering jatuh, Ayah (bapaknya Kang Safri) sampai tertawa dan membantu
saya.
Sepatu hanya akan mempersulit keadaan, percayalah |
Kami
berjumpa dengan beberapa anak kecil perempuan Baduy Luar mungkin usianya <10
tahun sedang mengangkut kayu bakar yg kelihatannya berat. Mak keras sekali
hidup disini.
Kami
melewati jembatan bambu yg diikat dengan tali ijuk. Hebat. Tanpa paku
sedikitpun. Tapi kekurangannya adalah, licin jika pakai sepatu. Percayalah kaki
kosong adalah pilihan terbaik. Dari Cijahe, akan ada dua jembatan bambu,
Kampung Cibeo terletak persis setelah jembatan kedua. Jembatan pertama adalah
batas antara Baduy Dalam dan Baduy Luar, jadi terhitung dari jembatan ini, kita
tidak boleh lagi menggunakan teknologi seperti merekam.
Jembatan bambu yang hanya diikat dengan ijuk tanpa paku |
Sebenarnya
Cibeo adalah kampung Baduy Dalam yang paling jauh dari Cijahe, dua kampung
lainnya: Cikertawana dan Cikeusik lebih dekat ke Cijahe. Kami sempat melihat
leuit di sepanjang perjalanan, mirip bentuknya seperti di Ciptagelar, namun
leuit disini kakinya lebih tinggi. Beberapa adalah milik Cikertawana dan
Cikeusik. Dan yang paling dekat Cibeo tentu milik mereka. Alasan kenapa leuit
dibangun terpisah dari kampung adalah apabila terjadi kebakaran leuit tidak
ikut musnah, karena pernah terjadi kebakaran di Baduy Dalam.
Sampainya
kami dirumah kang Safri saya kagum sama rumahnya. Saya sempat mengelilingi
rumahnya sebentar. Benar-benar tidak ada paku, hanya mengandalkan sistem
interlocking. Seperti rumah panggung biasa, dindingnya terbuat dari anyaman bambu
di beberapa titik sengaja dilubangi sebagai jendela. Di depan terdapat sedikit
teras dan di kanan biasanya ada tempat induk ayam mengerami telur.. bagian
bawah panggung diisi kayu bakar. Atapnya terbuat dari susunan daun aren. Di
dalam rumahnya terdapat empat ruangan, tiga ruangan terbuka (saya lupa namanya)
dan satu ruang tertutup yang dibatasi oleh tirai bernama imah, ruangan ini
sekaligus menjadi dapur dan kamar tidur ketika ada tamu.
Rumah panggung tampak depan. Note: karena tidak diperbolehkan memotret saya akan memvisualisasikan apa yang saya lihat sebisa mungkin |
Rumah panggung baduy tampak samping |
Denah rumah panggung Baduy dalam, Hanya ada satu pintu! |
Kami
langsung disambut dengan Kadu (Sunda Banten: durian), ini adalah alasan utama
Fadli menghasut kami ke Baduy, sedang musim durian. Ada satu durian yang saya
ingat sekali, kecil tapi manisnya seperti Pop Ice durian. Begitu nikmat.
Setelah itu kami diberi makan nasi dengan ikan asin. Entah kata siapa, orang
Baduy suka ikan asin. Kenapa mereka tidak membuat kolam saja ya (ternyata
setelah saya keluar dari Baduy, saya browsing,
Orang Baduy dilarang mengubah jalan air, termasuk membuat kolam).
Kami
merasa begitu bau, karena itu kami mandi di sungai. Airnya dingin. Di Baduy
Dalam menggunakan sabun, sampo, dan detergen sangat dilarang karena mengotori
air. Oleh karena itu mereka menggunakan daun Honje sebagai pengganti sabun dan
jeruk nipis sebagai pengganti sampo. Namun untuk mencari jeruk nipis harus jauh
ke hutan dan kami tidak tahu apa itu daun Honje. Selain sungai, terdapat juga
pancuran tertutup. Jadi bagi para wanita yang berkunjung jangan khawatir
masalah mandi.
Setelah
segar mandi. Kami berbincang-bincang dengan Kang Safri, istrinya, dan putranya,
Naya. Kami tidak menyangka usianya sudah 31 tahun, kami menebak masih 20
tahunan, sedangkan istrinya berumur 27 tahun, dan Naya berumur empat tahun.
Rumah ini dibangun dengan harga 16 juta, baru berusia dua tahun. Uang itu
dibayarkan ke sesama orang Baduy yang mengumpulkan kayu, membuat atap,
menganyam bambu, dll dan dibangun dalam dua hari.
Sebenarnya
tamu diperbolehkan menginap 1x24 jam, itu adalah ketentuan dari Pu’un, ketua
adat. Tiap kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik) punya Pu’un
masing-masing. Namun kami diperbolehan menginap dua malam oleh Kang Safri
jelasnya sambil memainkan kecapi.
Beliau
cukup penasaran dengan Ciptagelar, dan meminta kami menceritakan pengalaman
disana. Setelah kami ceritakan budayanya, rorokan, sampai bentuk leuitnya
dengan detil, Kang Safri menyimpulkan bahwa Baduy dan Ciptagelar mungkin ada
hubungan leluhur.
Tidak
seperti di Ciptagelar, dimana semua yang bertamu harus bertemu ketua adat. Di
Baduy, hanya orang-orang yang berkepentingan saja yang boleh bertemu Pu’un.
Misalnya mencari wangsit dan kepentingan yang bersifat myth lainnya. Tidak
seperti Ciptagelar juga, Pu’un tidak semata-mata dipilih dari garis keturunan,
tetapi juga dipilih berdasarkan auranya. Pu’un tidak menjabat seumur hidup
seperti Abah. Jika ada factor usia atau factor kekuatan yang menurun, maka
harus ada regenerasi Pu’un.
Seorang
dari kami bertanya
“Nikahnya
orang Baduy gimana si kang?”
“ya
kalo dulu mah banyak yang dijodohin. Tapi, karena banyak yang kurang harmonis,
sekarang bebas jadinya”
“kalau
nikahnya gimana kang?”
“ya
biasa aja ada acara, terus Pu’un lah yang menikahkan kami”
“berarti
dulu pacaran dulu dong?”
“jelas,
tapi kami mah lain sama orang kota gaya pacarannya. Kalo di kota biasa pacaran
beduaan. Kalau disini pacaran beduaan melanggar hukum adat. Jadi minimal
pacaran itu bertiga, ada yang jadi saksi biar ga disangka yang aneh-aneh”
Malam
sudah larut, kami disuruh mematikan lampu minyak apabila hendak tidur. Untuk
mencegah kebakaran.
sketsa lampu minyak |
21 Januari 2019
Saya
terbangun jam 0.30 karena udara yang sangat dingin. Padahal ketika hendak tidur
tadi masih cukup hangat. Tangan saya meraba-raba sekitar mencari senter untuk
penerangan dan mencari sleeping bag, setelah badan saya terbungkus baru saya
dapat tidur kembali.
Note
: orang Baduy Dalam akan memperbolehkan tamu menggunakan senter karena membawa
lampu minyak sangatlah sulit dan rawan tumpah sehingga resiko kebakaran tinggi.
Bangun
pagi hari kami disuguhi mie, ikan asin dan nasi, semuanya habis sudah karena
kami cukup lapar. Si Teteh pamit hendak pergi ke saung, tempat beristirahat
setelah bekerja di huma. Awalnya kami ingin ikut, namun si Teteh bilang
jaraknya jauh kira-kira butuh satu jam. Padahal kami sangat ingin melihat orang
Baduy bertani dengan Kujang (belati khas sunda yang menjadi lambang Kota Bogor)
serta melihat ibu-ibu membuat songket.
Setelah
itu kami istirahat sebentar. Lalu fadli ngomel,
"Kalo
mau tidur2 dirumah aja"
Akhirnya
kami keluar keliling kampung, suasana sangat sepi di sisi sungai, memang
siangnya warga Baduy Dalam pergi ke huma atau petik durian, sampai akhirnya
kami tiba di lapangan kecil di tengah kampung Cibeo. Terlihat beberapa
laki-laki sedang duduk duduk dirumah itu. Kami ngobrol dengan mereka dan
disambut dengan baik. Ada empat orang disana. Ada yang sedang merajut tas dari
tali, ada yg masak air dan dua lagi gabut. Ayah datang dan membawakan makanan untuk
kami yakni durian dan rambutan. Saya mencoba beberapa sementara yang lain, terutama
Ute menggila.
Kembali
lagi ngobrol-ngobrol, Fadli bertanya “dimana rumah Pu’un?”, mereka menunjukkan
rumahnya. Ada pembatas jalan disana dimana terdapat dua bambu. Kata mereka kita
gaboleh kesana kecuali ada perlu. Jika diperhatikan semua rumah di Baduy Dalam
menghadap selatan – utara, sedangkan rumah Pu’un tidak.
note: gambar ini tidak akurat, hanya berfokus pada pembatas bambu dan rumah Puun saja |
Tidak
lama kemudian beberapa orang pendatang muncul dari arah pancuran. Mereka datang
mendekati rumah Pu’un. Kata warga sekitar memang mereka mungkin ada keperluan.
Jalur yg mereka gunakan beda dengan kami, mungkin mereka lewat Ciboleger.
Lalu
datang orang jualan pikulan, kalian tidak salah baca guys. Baduy Dalam trnyata tidak se isolated yang orang bayangkan. Ada penjual pikul yang bahkan bukan
orang Baduy Luar datang. Mereka jual tungku, mie, makanan ringan dengan harga
terjangkau. Mungkin inilah salah satu kenapa ada sampah plastik di Baduy Dalam.
Dan ternyata orang Baduy Dalam sudah mengenal uang sejak zaman dulu.
Siang
kami ke rumah si Teteh sudah kembali, Kang Safri dan adiknya Agus juga kembali
dari hutan dan membawa beberapa durian, saya mencoba dua butir dan yg lain
seperti biasa, lupa diri. Setelah itu kami ditawarkan untuk ikut ngala kadu
(sunda: mencari durian). Kami harus jalan dulu sampai bertemu leuit Cibeo ke
arah Cijahe. Nah disana kami menyaksikan kesaktian lain orang Baduy, pemanjat
yg hebat. Dan pohon duriannya tidak tanggung-tanggung 50 meter. 15-20 meter
pertama pohon duren tidak memiliki ranting, jadi jalur pijakan harus dibuat dengan
golok. Mereka memanjat dengan lihai dan dengan menggunakan tali, galah
berjaring dan karung mereka turunkan durian yang mereka petik.
Note
: jangan berada dekat pohon durian selain resiko tertimpa durian, apabila anda
melihat keatas, maka akan ada pemandangan menakjubkan.
Kami
bertanya “adakah yang pernah jatuh dari pohon?”, jawabnya “adatuh Si Ayah”.
Katanya dulu beliau terpeleset dari pohon ketinggian 15 m, lalu terjatuh dan
mendarat di batu yang menciderai kaki beliau. Sehingga, kakinya terputar ke
belakang, 180 derajat. Sembuhnya? Ya diurut. Sembari dengar cerita, kami disuruh
mencicipi durian muda. Teksturnya seperti nangka dan rasanya cenderung hambar.
Di
bawah leuit kami menunggu. Ternyata fungsi batu di kaki leuit adalah mencegah
melapuknya kayu akibat kelembapan tanah. Hujan turun dan sangat deras, mereka
tetap memetik sampai habis. Agus menawarkan tuk mencarikan daun pisang sebagai
payung untuk kami. Ute menjawab dengan mudahnya. Kami mengkritisi tindakkan Ute.
Padahal untuk mencari daun pisang agak jauh di sekitar sana.
Setelah
agak reda kami kembali ke rumah. Daun yang kami bawa digunakan sekaligus untuk
makan nasi bersama-sama dengan ayam bakakak dan mie instan. Karena keluarga
Kang Safri (12 orang) ikut makan sore itu. Suasana makan sangat riang, Ute
memberikan bon cabe level 30 pada mereka, dan mereka kepedasan. Mereka makan
dengan cepat dan kembali mencari durian.
Sementara
kami berbincang dengan teteh soal beras. Ternyata mereka beli beras cuy,
padahal mereka punya padi yang sudah puluhan tahun umurnya, kenapa mereka ga
makan itu? Tetapi, si Teteh hanya terdiam.
Setelah
itu kami mandi dengan daun honje. Daun honje ternyata adalah daun dari tanaman
kecombrang. Buah yang biasa jadi pelengkap sambel di Ciptagelar. Banyak yang
bilang bahwa daunnya berbusa jika digosokan ke badan. Itu hanya mitos belaka.
Hujan
membuat sungai meluap dan bewarna coklat. Sehingga kami harus mandi di
pancuran. Yang perempuan mandi di bilik pancuran, saya dan rafid mandi di
pancuran luar. Dan fadli modol. Daun honje diremas dengan tangan lalu digosokan
ke bagian tubuh kecuali rambut. Hujan kembali turun. Kami berlari ke rumah.
Di
rumah kami ditawarkan pop mie oleh Kang Safri, terlihat jelas bahwa kami
kehabisan beras. Disanalah kami menanyakan adakah kenalan mereka di Baduy luar
agar kami bisa menginap disana? Kang Safri bilang ada, namanya Kang Emen, namun
rumahnya di Baduy luar Ciboleger bukan Baduy luar cijahe, jadi kami harus
keluar lewat Cijahe dan naik motor ke Ciboleger. Dan masuk lewat sana, karena jarak
dari Cibeo ke Ciboleger 8 km dan naik turun. Sedangkan Cibeo – Cijahe hanya 3.3
km.
Setelah
makan kami penasaran seberapa tebal telapak kaki orang Baduy dalam. Mengingat
mereka diharamkan untuk menggunakan kendaraan dan alas kaki. Ternyata tebal,
tapi tidak terlalu keras seperti yang saya bayangkan. Kang Safri pun angkat
bicara. Sebenarnya, kadang dia sengaja menispiskan telapak kakinya dengan
pisau. Terlalu tebal ternyata tidak baik. Jikalau telapak kaki berkulit badak
itu tertusuk beling kecil, maka tidak akan terasa sama sekali bahkan bisa masuk
ke daging. Begitulah alasannya, logis ya?
22 Januari 2019
Pagi
kami bangun, kami langsung bersiap siap packing.
Sarapan sudah tersedia yakni mie, ikan bawal, dan nasi. Lalu Kang Safri datang
ikut sarapan. Akhirnya sekarang momen of
truth. Rafid bertanya.
"Kenapa
beli beras a, padahal banyak beras di leuit"
"Ya
gapapa kita nyetok aja"
"Tapi
aneh aja gitu kan msh bisa dimakan"
"Sebenernya
kita udah gagal panen 8 tahun, jadi kalo di baduy dalamada istilah sawinduan,
yakni gagal panen sekitar 8 tahun. Jadi kita harus siap, biarin aja beras di
leuit jadi stok. Sementara kita beli aja dulu"
Mungkin
mereka lebih senang kehilangan uang ketimbang kehilangan beras…
Memang
seharusnya kita beli beras untuk minimal diri kita sendiri jika ingin menginap
di baduy dalam, sehingga tidak merepotkan perberasan mereka.
Selesai
makan kami bertemu dengan Kang Safri dan saudara - saudaranya dan dia di dekat
jembatan ke arah Cijahe. Sudah tertumpuk sekitar 250 butir durian yang siap
diangkut ke Cijahe. Kami disuruh duluan dan mereka akan menyusul. Saya yakin
demikian karena jalan kami di tanah licin berlumpur sangat lamban dan akan
menjadi beban apabila jalan persis di depan mereka.
Kami
dipandu oleh dua anak kecil yang juga membawa durian. Mereka berumur 8-10 tahun
kira kira dan membawa 10 durian tiap anak. Sedangkan kang Safri bisa mengangkat
50 durian. Saya dan rafid tertinggal di belakang karena pemandu kami, Ute, Fani
dan Fadli cepat sekali. Setiap sampai di pertigaan kami selalu bingung. Dan
harus gambling. Saya tidak habis
piker dengan oran-orang kanekes dalam ini. Bayangkan dengan beban kira 50 durian,
mereka bisa berjalan dengan stabil di tanah licin baik tanjakan dan turunan.
Akhirnya kami bertemu dengan pemandu di saung tempat berteduh ketika hujan dua
hari yang lalu. Namun, kami membiarkan rombongan pengangkut durian lewat
duluan, agar memudahkan mereka.
Ternyata
orang Baduy bisa lelah. Mereka beristirahat dahulu sambil menunggu dua orang
saudaranya yang tertinggal. Saya iseng coba angkat pikul durian yang berjumlah
26 buah. Memang bisa diangkat, namun sangat sulit berjalan dengan benda itu.
Butuh kestabilan tingkat dewa. Inilah kesaktiannya.
Pemandangan huma Baduy luar |
pemandangan di Baduy luar |
Mencoba mengangkat 26 durian |
Istirahat sejenak, Kang Safri berpose "love" oppa, dan bocah di paling kanan (baju hitam) yang mengangkut 26 durian |
“Jangan
kapok ya main kesini, hehe” sekaligus pamit karena harus mengangkut durian
lagi.
Kang Safri dan sekeluarga mengucapkan sampai jumpa! (Ayah ada di paling kanan kedua, "muka sangar bak pejuang" kata Rafid) |
Kami
tancap gas ke Ciboleger. Sebelum itu kami harus memiliki cash, barangkali butuh untuk parkir, kebutuhan, dan beli oleh-oleh.
Mampirlah kami di BRIlink, tarifnya adalah Rp. 10.000 tiap tarikan Rp. 500.000,
berlaku kelipatan. Perlu waktu kurang dari dua jam untuk mencapai Ciboleger,
dengan medan naik turun, jalanan rusak, dan pemandangan yg indah.
saran:
1. Datanglah ketika musim durian
2. Datanglah dengan membawa makanan misal beras dan ikan asin
3. Bulan Februari - Mei Orang baduy dalam akan puasa, pengunjung tidak boleh masuk
saran:
1. Datanglah ketika musim durian
2. Datanglah dengan membawa makanan misal beras dan ikan asin
3. Bulan Februari - Mei Orang baduy dalam akan puasa, pengunjung tidak boleh masuk
Comments
Post a Comment