EKSPEDISI PAPUA TERANG: MONGGOAFI, KAMPUNG DI SEBERANG EMPAT SUNGAI
2 Agustus 2018
Pagi hari Yabanda dipenuhi dengan
kabut. Mirip sekali seperti Bandung ketika musim hujan, namun kabut disini
lebih tebal. Kali ini kami sarapan dengan ransum TNI. Ransum TNI ada beberapa
jenis. Yang saya ketahui ada
1. Nasi
kaleng
2. Nasi
siram
3. Lauk
saja
4. Enertape
5. Viteral
6. Minkal
7. Minsus
8. Susu
bubuk
9. biskuit
Serta dilengkapi beberapa
penunjang seperti spork (sendok digabung dengan garpu), korek api kayu, kompor,
dan paraffin. Pagi ini kami sarapan dengan nasi siram. Bentuknya seperti beras
di dalam bungkus plastic, dan langsung diseduh dengan air hangat di bungkusnya.
Setelah 10 menit siap dimakan dan rasanya lumayan enak.
Pukul Sembilan kami meninggalkan
puskesmas dan masuk ke Kampung Yabanda. Kami bertemu dengan Pak Sekretaris
kampung, Tirus Atiape. Kebetulan beliau akan ke Monggoafi dan bersedia
mengantar kami, karena kampung Monggoafi ini cukup terpencil dan terletak
diatas bukit di tengah hutan. Kami pun mengurungkan niat untuk mensurvei
Yabanda hari ini. Karena sesuai arahan pak Is, kampung yang lebih jauh yang
lebih dahulu disurvei, tujuannya agar dikemudian hari jika kampung yang mudah
tidak sempat di survei, maka orang PLN rayon akan lebih mudah melaksanakan
survei selanjutnya. Singkat kata kami tancap gas duluan, sedangkan pak Tirus
mengikuti kami dari belakang dengan mobilnya yang diisi dengan keluarganya.
Kami sangat laju di depan,
sampai-sampai pak Tirus tidak terlihat di belakang. Kami berhenti sebentar
karena jalannya sudah tidak mungkin dilewati oleh mobil. Ternyata ada suara
klakson dari atas tanjakkan. Itu adalah mobil pak Tirus,
“kalian salah jalan, harusnya
kita berhenti di batas material” teriak Pak Tirus
*catatan: batas material biasanya
berupa timbunan pasir ketika membangun jalan atau tempat camp para pekerja
pembangun jalan atau pekerja sawmill.
Ternyata pintu masuk ke kampung
Monggoafi sudah kami lewati, pintu masuknya persis disamping camp sawmill. Dari
sini kami berdoa, carrier mbak sus dibawakan oleh babinsa sementara yang lain
pikul tas masing-masing, kecuali Om Jefri, beliau hanya bawa botol 600 ml.
Perjalanan dimulai! Kami memasuki
pintu rimba, baru saja jalan 20 m hutan sudah sangat rapat. Jika melihat ke
atas sinar matahari yang tembus hanya sedikit, padahal cuaca sangat terik.
Medan pertama yang kami hadapi adalah trek motor sawmill. Jadi trek motor
sawmill adalah jalan yang terbuat dari papan dengan lebar 10 cm yang digunakan
sebagai jalur mobilisasi sepeda motor pengangkut kayu. Kondisi topografi masih
datar, namun butuh fokus tinggi untuk jalan diatas papan ini, salah salah bisa
jatuh ke lubang.
Setelah 45 menit berjalan
akhirnya papan ini berakhir. Medan menanjak mulai menghadang, disini saya mulai
kehabisan nafas, Mas Adi asam uratnya kambuh dan Mbak sus kelelahan,
lintah-lintah sudah merayap di celana kami. Karena sudah mulai gemuruh, Pak Tirus
mengambil carrier saya, dan saya membawa karung berisi bama (walaupun
sebenarnya beban tetap sama). Sampai di atas tanjakkan pertama, kami
beristirahat. Ternyata lokasi ini merupakan bekas Kampung Monggoafi. Setelah
itu akan ada turunan dan melewati kali (orang Papua menyebut sungai sebagai
kali) yang kecil.
Dukanya di Papua itu adalah medan
yang cukup berat: turun naik sampai dengkul copot. Saya sebenarnya bukanlah
mapala, hanya seorang pemuda yang hobi mencari udara dingin dan kesunyian di
gunung. Di gunung medannya naik terus, sehingga ketika ada turunan, pasti
terlintas di kepala “akan ada tanjakkan lagi”. Setelah turun, kami menemukan kali
yang cukup lebar selebar Sungai Lok Ulo. Kalinya jernih, setelah kami melewati
kali ini, kami istirahat sambal mengunyah mie mentah.
Lalu kami naik gunung lagi,
melewati medan berlumpur, menerabas hutan hutan lebat. Sampai kami turun lagi
dan bertemu kali ketiga. Kali ini lebih kecil daripada kali kedua namun sama
jernihnya. Karena sudah mulai gerimis maka kami mempercepat jalan. Kami menaiki
tanjakkan lagi. Lalu bertemu kali keempat. Setelah berjalan empat jam, wajah
kami sumringah ketika melihat atap-atap rumah dari kejauhan. kami akhirnya
sampai di Kampung Monggoafi yang ada di seberang kali keempat.
Istirahat di bekas Kampung Monggoafi (oren: Pak Tirus, abu: Saudaranya, Merah: Brian) |
kali kedua/ Kali Pu (sebelum banjir masih setinggi betis) |
kali ketiga |
Namun dilemanya adalah kami tak bisa
langsung survei pada petang itu. Pasalnya para petinggi kampung sedang ada di
dusun tetangga. Tapi Pak Tirus sungguh mulia hatinya, beliau rela menyusul para
petinggi kampung ke dusun sebelah, padahal durasi perjalanan sekitar dua jam
perjalanan dari Monggoafi ke dusun tetangga. Sementara itu kami mengisi waktu
berbincang dengan warga yang ada. Saya main voli dengan anak-anak, termasuk
dengan anak Pak Tirus, Brian.
kiri-kanan: Pak Guntur, Pak Basmin, Aq, Om Jefri, Mas Adi, Mbak Sus, dan Kaka Yan. |
Baju kami lembap karena dibasahi
oleh peluh yang terus mengucur selama perjalanan empat jam. Mandi di kali
merupakan pilihan yang tepat. Bagi kami para lelaki, mandi di alam terbuka
bukanlah masalah (kecuali jika ada penyuka sesama jenis). Saya, Mas Adi, para
babinsa, dan Om Jefri mandi dengan santai di pinggir kali. Namun hal demikian
menjadi problematika bagi Mbak Sus karena di kampung tidak ada kamar mandi.
Sehingga dia mengurungkan niat untuk mandi sore ini.
Kali keempat |
3 Agustus 2018
Sore menjelang, kami sudah
terkapar di pinggir jalan depan Puskesmas Yabanda, kami tidak peduli lagi jika
ada motor melintas (jika mobil yang melintas mungkin kami akan pindah J ). Celana saya dihiasi
oleh lumpur. Sepatu gunung saya sudah tidak layak pakai karena solnya sudah mau
lepas, kanan dan kiri. Baju sudah basah karena peluh. Tidak terasa survei
Monggoafi sudah selesai. Kami begitu senang kami bisa selamat kembali ke Yabanda.
Kemarin malam hujan deras di
Monggoafi. Semua orang tertidur dengan nyenyak. Paginya kami melakukan survei
dan wawancara. Siangnya kami pamit dan keluar dari Monggoafi. Ketika melewati
kali pertama di sebelah kampung, kali tetap tenang dan tidak kabur (kabur=keruh
bagi orang Papua). Ketika melewati kali kedua, debitnya mulai deras namun,
tidak kabur. Kami bahkan sempat istirahat di sana. Demi menghemat stamina, saya
hanya membawa botol kosong dan minum langsun dari air kali. Sebab semua
indikasi bahwa air kali itu bias diminum ada pada kali ini 1) tidak berwarna 2)
tidak berbau 3) keberadaan serangga-serangga air (kalian pasti pernah lihat
serangga yang seperti laba-laba dam bergerak-gerak melawan arus). Tetapi, pada
kali ketiga atau orang Monggoafi menyebutnya Kali Pu, terjadi banjir bandang. Padahal
kemarin, kali ini tidak kabur, tidak dalam, serta ada sedimen (seperti pulau)
di tengahnya. Bergerak sampai ke tengah sedimen, namun air lama-kelamaan mulai
naik. Pak Tirus mencoba menyebrang lebih
dahulu sambil memikul tas, namun beliau hampir terhanyut karena batu di dasar
kali sangat licin dan beliau masih memakai sandal. Selanjutnya Pak Basmi
mencoba menyebrang dengan kaki kosong dan memikul tas. Beliau menyebrang dengan
jalur miring terhadap arus sungai sehingga selamat sampai seberang. Permasalahannya
mungkin Pak Tirus, Para Babinsa, dan saudara Pak Tirus bisa enyebrang dengan
selamat, namun kami? Para ekspeditor, pace mace, dan dua orang anak yang ikut
mungkin tidak mampu. Akhirnya Pak Tirus yang sudah di seberang berteriak pada
saudaranya.
“hoi cepat ko potong rotan, air su
tinggi”
Kali Pu ketika banjir. Pak Tirus berusaha menyebrang (air setinggi perut) |
Mbak Sus selalu dipeluk dari belakang oleh Mas Adi agar tidak hanyut |
Saya menggigit sepatu sambil menyebrang |
Dengan sigap pace langsung
berlari dan memotong rotan yang ada di pinggir kali dekat sedimen. Bahu membahu
kami mengikat rotan serta menghilangkan durinya. Pak Tirus kembali kearah kami
dan membawa ujung rotan ke seberang. Dengan aman, para babinsa yang memikul
barang-barang menyebrang lebih dulu satu persatu, Kakak Yan, Pak Guntur, dan
Kakak Eli. Jika kami menyebrang bersamaan, maka rotan pasti akan putus.
Selanjutnya Mas Adi dan Mbak Sus, mereka menyebrang bersama-sama dengan posisi
yang so sweet. Lalu saya yang menggigit sepatu saya menyebrang sambil memegangi
rotan. Disusul dengan pace mace dan anak-anak. Sambil bernafas lega, kami
memandangi sedimen yang sudah hilang tenggelam. Sempat kami terlambat, maka ada
dua pilihan, kembali ke Monggoafi atau menginap di hutan sambil menunggu kali
tidak banjir. Tuhan menolong kami melalui rotan.
Kembali lagi ketika kami duduk di
depan Yabanda, ada TNI muda yang lewat. Bahkan ketika kami bercerita tentang
Monggoafi beliau tidak pernah tahu kampung itu ada. Kami menjelaskan kampung
tersebut ada di tengah hutan di sebuah lapangan yang sangat datar. Terdapat 34
rumah papan yang terletak dipinggir-pinggir lapangan, dengan gereja disisi
paling Selatan dan Pustu (puskesmas pembantu) di tengah lapangan. Sebenarnya tiap
rumah di kampung ini sudah punya solar cell personal dari dana desa, namun
sudah rusak. Bahkan di gereja kami mendapati ada genset, namun tidak beroperasi
karena ketidakadaan BBM. Siapa juga yang mau pikul BBM puluhan liter naik turun
kali empat jam ke kampung ini? Kami pun sempat menyurvei kali. Namun, tidak ada
head nya (kemiringan yang cukup curam) untuk PLTMH (pembangkit listrik tenaga
mikro hidro). Profesi warga rata-rata berkebun dan dikonsumsi pribadi.
Tagging rumah dan sketching denah |
setelah wawancara |
Matahari mulai tenggelam, kami
minta pamit ke Pak Yahya dan bergerak ke kampung selanjutnya, Yuruf. Kami bermalam
di rumah pak guru, kawan dari Om jefri. Disana kami di jamu dengan sayur lilin.
Mungkin sayur ini hanya ada di Papua, rasanya seperti putih telur yang sudah
dimasak. Enak sekali. Kami pun beristirahat mempersiapkan energi untuk survei
ke Kampung Favenumbu.
Comments
Post a Comment